Kado Ulang Tahun untuk Mamat

Cerpen Ira Rahmah Apriani, S.Pd

Darman hilir mudik di ruang kelasnya. Sebentar-sebentar berdiri di pintu kelas seraya menatap jalan kecil yang menuju gerbang sekolah. Sebentar kemudian kembali ke dalam kelas, menatap teman-temannya satu persatu. Mereka juga tampak agak cemas.

“Sebentar lagi pasti datang, Man,” ujar Lina.

“Iya, Man. ‘Kan masih ada waktu 10 menit sebelum bel masuk berbunyi. Mungkin ada hambatan di perjalanan,” timpal Rosidin.

“Mungkin,” kata Darman perlahan. Dia tahu, selama ini Mamat hampir tak pernah absen. Sekalipun hari sedang hujan, Mamat selalu datang ke sekolah, sekalipun hanya bertudung plastik bekas agar seragam dan tas sekolahnya tidak basah.

“Tapi bagaiman kalau hari ini dia absen?”

Lina dan Rosidin saling tatap. Tak bisa menjawab. Juga teman-temannya yang lain. Semua diam. Semua teman sekelasnya tampak sedang berpikir: kalau hari ini Mamat absen, sia-sialah semua hal yang mereka persiapkan sejak beberapa hari lalu.

Darman kembali melangkah ke pintu kelas. Menatap jalan kecil. Tapi yang ditunggu, belum kelihatan. Darman jadi penasaran. Dia berjalan melewati ruang kelas 6 yang berada di ujung gedung sekolah. Ruang kelasnya sendiri, yakni kelas 5, bersebelahan dengan kelas 6 di sebelah kiri, dan kelas 4 di sebelah kanan.

Setiba di ujung gedung sekolah, Darman melempar pandangannya ke gang kecil di samping rumah Mang Burhan, penunggu sekolah. Siapa tahu teman sekelasnya yang sedang ditunggu-tunggu itu, datang dari sana, sekalipun selama ini Mamat sangat jarang datang ke sekolah melalui gang kecil tersebut. Karena jalannya terlalu memutar bila ditempuh dari rumahnya.

“Duh…gimana nih? Kok Mamat belum datang,” gumamnya seraya melangkah kembali menuju ke ruang kelasnya. Di depan pintu masuk, Darman berpapasan dengan Bu Ambar, wali kelas 5.

“Bagaimana, Man, sudah siap?” tanya Bu Ambar.

“Sudah, Bu. Hanya saja Mamatnya belum hadir.”

“Oh, begitu ya. Bagi Ibu sih terserah kamu dan teman-teman. Mau diundur ke besok, atau bagaimana, silakan kamu dan teman-teman putuskan.” Bu Ambar masuk ke dalam kelas, diikuti Darman.

Tanpa perintah, Darman menutup pintu kelasnya, lalu melangkah menuju tempat duduknya. Tapi baru saja Darman membalikkan tubuh dari daun pintu, terdengar ketukan dari luar.

“Aaahhhh… Siapa lagi sih?” bisiknya bernada kesal, lalu membalikan tubuhnya kembali berbarengan dengan terbukanya pintu yang didorong dari luar. Seketika raut muka Darman berubah cerah. Sebab yang datang tak lain Mamat, temannya yang sangat ditunggu-tunggu.

Mamat manggut kepada Bu Ambar dan Darman, seakan-akan meminta maaf karena datang terlambat. Lalu tanpa sepatah kata pun, dia terus melangkah ke tempat duduknya, diiringi tatapan hampir semua teman-temannya.

Bahkan seakan ada yang mengomandoi, semua siswa kelas 5, beralih menatap ke alas kaki yang dipakai Mamat: masih sama, sepatu kets dari bahan kanvas yang sudah robek di beberapa bagian. Bahkan kelingking kakinya menonjol keluar. Karena kanvas sepatunya sudah bolong.

Mamat sudah lama mengenakan sepatu seperti itu, dan dipakai setiap hari. Pasti karena hanya sepatu itu yang dimilikinya. Dan Darman tahu, karena rumahnya yang sederhana itu letaknya tidak terlalu jauh dari rumah Darman.

Orang tua Mamat hanyalah buruh tani. Penghasilannya hanya cukup untuk makan sekeluarga: ayah, ibu, Mamat dan adik perempuannya yang berusia lima tahun. Tak aneh bila di sekolah, Mamat jarang jajan di kantin. Lebih seringnya ditraktir teman-teman.

Darman masih ingat, sepatu yang dipakai Mamat itu, pertama kali dipakai saat Mamat duduk di kelas empat. Sepatunya masih baru. Mungkin orang tuanya yang membelikan. Hingga naik ke kelas 5, berlanjut hingga masuk semester 2, sepatunya masih itu juga. Wajar bila sepatu itu sudah bolong-bolong, dan sol bagian belakangnya hampir copot.

Tapi Mamat tak merasa malu ke sekolah memakai sepatu seperti itu. Mungkin karena dia menyadari kondisi ekonomi keluarganya. Lagi pula selama ini, Bu Ambar atau kepala sekolah, tak pernah mempermasalahkan soal sepatu, apakah baik atau jelek. Yang penting rajin belajar dan sekolah, dan itu dilakukan Mamat sejak kelas 1.

Pun teman-temannya, tak pernah ada yang menghina Mamat gara-gara dia memakai sepatu jelek, yang mungkin oleh mereka sudah dibuang ke tong sampah. Tapi bagi Mamat sepatu itu satu-satunya alas kaki yang mendorongnya bersemangat berangkat ke sekolah.

Darman ingat kejadian beberapa bulan lalu ketika siswa kelas 5 mengadakan kegiatan Pramuka di sebuah perbukitan, sekitar tiga kilometer dari sekolah. Rombongan Pramuka bersama pembinanya menempuh rute pematang pesawahan, turun untuk menyebrangi sungai, lalu naik ke jalan setapak di antara kebun singkong dan ubi jalar, hingga akhirnya sampai di sebuah lapangan berumput. Di situlah mereka mengadakan kegiatan Pramuka.

Saat menyebrangi sungai sedalam betis anak-anak itulah ada kejadian yang mengharukan, meski awalnya teman-teman menganggap kejadian itu lucu. Sepatu yang dipakai Mamat, saat dia menyebrang, copot dan terbawa arus. Mamat seketika mengejarnya. Tapi karena arusnya cukup kuat, Mamat tampak kesulitan menangkap sepatunya, bahkan sempat terpeleset dan membuatnya basah kuyup, sehingga sebagian temannya tertawa.

“Mat, biarkan aja!” kata Darman

Tapi Mamat tak memperdulikannya. Dia terus mengejar sepatunya hingga ke hilir, sampai tertangkap karena tali sepatunya nyangkut di sebuah ranting di tepian sungai.

Kejadian itu terus terbayang di benak Darman, dan ingin rasanya membelikan sepatu baru untuk Mamat. Tapi keluarganya sendiri bukanlah orang kaya. Ayahnya hanya pegawai kecil di kantor kecamatan.

Berhari-hari Darman terus mengingat kejadian itu, hingga akhirnya muncul ide, dan hal itu disampaikan kepada teman-temannya. Mereka ternyata sangat setuju. Bahkan ketika disampaikan kepada Bu Ambar, dia mengacungkan jempol.

“Bagus sekali ide kamu, Man,” kata Bu Ambar seraya meminta Darman untuk segera melaksanakan rencananya itu. “Nanti Ibu pikirkan kapan saat yang tepat disampaikan kepada Mamat.”

Dan hari inilah saat yang tepat itu.

“Anak-anak kumpulkan tugas minggu lalu,” ujar Bu Ambar.

Tanpa diperintah dua kali, semua siswa mengumpulkan karya tulis puisi yang ditugaskan gurunya saat memberikan pelajaran Bahasa Indonesia minggu lalu. Tema puisi bebas dengan panjang minimal empat bait.

Setelah terkumpul di mejanya, satu-satu Bu Ambar memeriksa puisi-puisi tersebut. Saat membaca puisi karya Mamat, sejenak Bu Anwar tertegung, lalu menatap Darman seakan-akan memberi isyarat bahwa saatnya telah tiba.

“Ibu senang puisi hasil karya kalian bagus-bagus,” kata Bu Ambar. “Ibu ingin mendengar salah satu dari kalian membacakan puisi karyanya sendiri. Dan Ibu telah memilih… Mamat, ayo ke depan. Bacakan puisi karya kamu ini. Ibu rasa ini bagus.”

Meski awalnya terkejut, Mamat maju ke depan, mengambil selembar kertas dari tangan Bu Ambar. Lalu menghadap ke semua temannya. Agak malu-malu, Mamat mulai membaca puisinya itu dengan sedikit ritme dan intonansi.

 

Hari ini umurku bertambah

Tak ada tiup lilin

Tak ada potong kue

Bagiku itu tak penting

 

Setahun umurku bertambah

Makin baikkah aku?

Makin taatkah aku beribadah?

Cuma itu bagiku yang penting

 

Ya, Allah

Terima kasih Kau beri lagi aku kesempatan

Menghirup udara segar

Terima kasih ibu, bapak

Kalian curahkan kasih sayang tulusmu

 

Terima kasih bapa ibu guru

Kalian bimbing aku dengan ikhlas

Terima kasih sahabat-sahabatku

Kalian telah menjadi teman seperjalanan

Dalam meniti waktu

 

Selesai membacakan puisinya, Mamat menyerahkan kembali lembaran kertas puisinya itu kepada Bu Ambar, dan bersiap untuk kembali duduk di bangkunya. Tapi urung, karena Bu Ambar menyuruhnya untuk tetap berdiri di depan kelas.

Dan tanpa diduga, semua temannya berdiri seraya mengucapkan selamat ulang tahun. Tak pelak membuat dia tersipu.

Darman kemudian membuka tasnya. Mengeluarkan sebuah bungkusan. Sepertinya itu kado, karena dibungkus dengan kertas warna-warni. Dia lalu melangkah mendekati Mamat. “Selamat ulang tahun, Sobat. Semoga panjang umur, sehat selalu, dan terus semangat belajar,” kata Darman seraya memberikan kado itu kepada Mamat. “Ini dari teman-teman.”

Sejenak Mamat terpana. Dia tidak percaya apa yang terjadi di depannya.

“Terimalah, Mat. Ini dari teman-teman kamu,” kata Bu Ambar.

Perlahan Mamat menerima kado itu.

“Ayo buka, Mat,” ujar teman-temannya.

Hati-hati Mamat merobek kertas pembungkus kado. Terlihat sebuah dus warna abu-abu dengan sebuah merk tertulis di atasnya. Mamat membuka dus itu. Seketika tangannya bergetar. Dia tidak percaya isi dus itu sepasang sepatu baru.

Pandangannya berbalik menatap Darman, lalu menatap ke sekeliling ruang kelas, kepada teman-temannya, hingga akhirnya menatap Bu Ambar.

“Terimalah, Mat. Itu kado ulang tahun dari teman-temanmu,” ujar Bu Ambar. Sebagai guru, dia tahu Mamat ragu menerima kado itu karena mungkin itu yang pertama diterimanya selama ini, di hari ulang tahunnya.

Mamat lalu merangkul Darman. Kelopak matanya berkaca-kaca. “Terima kasih,” katanya terbata-bata. Lalu memandang teman-temannya. “Terima kasih teman-teman semua.”

Bu Ambar membiarkan situasi penuh haru itu untuk beberapa saat. Apalagi baginya, apa yang terjadi dijam pelajaran Bahasa Indonesia itu sebagai simulasi pendidikan karakter yang berisi nilai-nilai gotong royong dan saling membantu kepada sesama.

Makanya ketika beberapa waktu lalu Darman menyampaikan idenya untuk membantu Mamat memiliki sepatu baru dengan cara mengumpulkan iuran dari teman-temannya, Bu Ambar langsung setuju. Karena iuran yang dikumpulkan dari teman-temannya itu, seikhlasnya dan disisihkan dari uang jajan mereka sendiri.

Ada yang menyumbang setiap hari, ada juga yang seminggu sekali. Ketika jumlahnya dirasa sudah cukup untuk membeli sepatu baru, mereka berembug untuk menentukan siapa yang akan ke toko untuk membeli sepatu. Darman, karena ketua kelas, ditunjuk oleh mereka. Tapi Darman tak mau sendiri. Dia mengajak Lina dan Farhan.

Semuanya kemudian dilaporkan kepada wali kelas, Bu Ambar, sehingga dia bisa mencari waktu yang tepat. Dari dapodik, diketahui tanggal kelahiran Mamat. Dan secara kebetulan jatuh pada hari, yang jam pertamanya adalah pelajaran Bahasa Indonesia. Hari ini.

Situasi kelas masih penuh haru. Mamat sedang menyalami teman-temannya satu persatu, dibarengi ucapan terima kasih.

Bu Ambar menatap mereka.

“Aku bangga pada kalian,” bisiknya. ***