Oleh : Idat Mustari*)
BELAJAR ilmu agama itu baik dan penting tapi belajarnya harus dengan cinta, dengan hati yang bening dan pikiran yang jernih. Belajar ilmu agama itu bukan sekedar untuk menambah pengetahuan di kepala tetapi tak meresap di hati.
Bukan pula untuk menambah diri merasa lebih baik, lebih soleh, lebih hebat dari orang lain melainkan untuk semakin menjernihkan pikiran dan membeningkan hati. Untuk semakin menyadarkan diri atas dosa dan kesalahan yang telah dilakukan dan semakin merundukan jiwa dan meningkatkan kesadaran untuk memohon pengampunan dari Maha Pengampun.
Imam Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad, “Wahai anakku, banyak sekali malam-malam yang kau hidupkan untuk mengulang-ulang ilmu, mempelajari kembali kitab-kitab dan kamu telah mengharamkan dirimu untuk tidur. Tanpa aku ketahui apa motifnya. Apabila untuk memperoleh kehormatan, rongsokan, jabatan-jabatan keduniawian dan untuk menyombongkan kepada sesama. Maka sangat celakalah kamu.
“Jika tujuanmu untuk menghidupkan ajaran Nabi saw, memperbaiki akhlaqmu, menaklukan nafsumu yang banyak memerintahkan berbuat keburukan. Maka sangat beruntunglah dirimu. Tepat sekali orang yang bersyair: Terjaganya (tidak tidur) mata untuk selain-Mu itu sia-sia. Dan tangisannya bukan karena kehilangan-Mu (kesempatan ibadah) itu palsu.”
Kata Cak Nun (MH Ainun Najib ), ”Apa gunanya ilmu kalau tidak memperluas jiwa seseorang, sehingga ia berlaku seperti samudera yang menampung sampah-sampah. Apa gunanya kepandaian kalau tidak memperbesar kepribadian manusia sehingga ia makin sanggup memahami orang lain”.
Kesanggupan memahami diri sendiri dan orang lain serta menjadikan diri indah ketika hadir bersama orang lain. Menggenapkan bukan mengganjilkan. Memberi manfaat bukan mudarat adalah yang harus dijadikan motivasi dalam belajar ilmu agama.
Namun tidak sedikit ada orang, setelah belajar agama jadi mudah melabeli orang lain sesat, memvonis orang lain ke neraka. Ini terjadi karena lupa bahwa belajar agama itu, adalah belajar jadi manusia, bukan belajar menjadi Tuhan. Lagi-lagi itu karena belajar agamanya tidak dengan cinta.
*) Penulis Seorang Al Faqir