Kebun Teh Organik, Sebuah Terobosan Manajemen Kebun Rancabali PTPN VIII

WartaParahyangan.com

BANDUNG – Kebun Rancabali PTPN VIII yang terletak di Kabupaten Bandung Barat membuat terobosan baru berupa pembangunan Kebun Teh Organik seluas 48,83 ha, yakni di Blok 22B, 28, 23A, 24A, dan 25A. Lokasi tersebut sebelumnya telah disurvey pihak menejemen Kebun Rancabali.

Dikutip dari rilis yang diterima wartaparahyangan.com, tujuan pelaksanaan pengembangan teh organik di kebun seluas 50 ha tersebut adalah untuk mengelola kebun teh dengan menerapkan paket teknologi budidaya teh yang ramah lingkungan.

Selain itu juga untuk memanfaatkan lahan secara lebih produktif dengan tetap menjaga kelestarian sumber daya alam, diversifikasi usaha Kebun Rancabali dengan pembangunan kebun teh organik yang memiliki prospek harga lebih tinggi, serta sebagai sarana diseminasi penerapan paket teknologi pengembangan kebun teh organik.

Pihak PTPN VIII melalui menejemen Kebun Rancabali selanjutnya melakukan penjajakan input factor dengan BioNusa dengan produk KOMPOTA, PHE, BT-Max, Vertiplus, Biofilla dan Cupprocide. Produk tersebut memang sudah terverifikasi organic (Inofice).

Manajemen Kebun Rancabali juga melakukan penjajagan dengan Asesor & Konsultan untuk Sertifikasi Control Union (CU) dengan standar sertifikasi Europan Union (EU) & USDA/NOP.

Areal yang digunakan untuk proyek Kebun Teh Organik tersebut dibagi menjadi dua yakni luas areal 48,83 ha dengan ketinggian 1.900 mdpl dan luas barrier 15,20 ha dengan total luasan 64,03 ha dengan CH rata-rata 2.000 mm/th, ordo tanah Andisol, S1, atau sangat sesuai.

Pihak manajemen Kebun Rancabali memang mengakui pengembangan Kebun Teh Organik di atas lahan seluas itu memiliki kekuatan (strength), peluang (opportunity), kelemahan (weakness) dan ancaman (threat).

Kekuatannya, akses lokasi strategis dalam hal pemeliharaan, sumber air, pengawasan, lokasi jauh dari emplasemen; areal bukan endemic OPT; terpisah dari kebun konvensional; sudah banyak ‘pembatas pohon’ sebagai barrier; kandungan bahan organic dan N-total tinggi; pengolahan teh hitam (CTC dan Orthodox); tenaga kerja cenderung lebih mudah; dan variasi klon lebih tinggi (diversifikasi produk).

Peluangnya, pangsa pasar teh hitam organic (CTC dan orthodox) sangat terbuka; dekat dengan rencana pengembangan peternakan sapi (sebagai input bahan organic) seluas 30 ha; peluang pemasaran produk teh organik (dijual di masyarakat sekitar) juga terbuka luas; dan dapat menjadi eduwisata teh organic.

Sedangkan kelemahan dan ancamannya, antara lain adanya potensi kontaminasi gas alam disekitar kebun; berdekatan dengan kebun teh konvensional; komposisi klon diminan TRI 2024/2025; dan adannya potensi lahan garapan di sekitar kehutanan.

Di sisi lain, proses pembuatan dan bahan baku input untuk teh organik perlu terbebas dari kontaminan anorganik sesuai persyaratan sertifikasi, sehingga dalam demplot ini disarankan lebih aman menggunakan produk yang sudah tersertifikasi organic, seperti sertifikasi INOFICE.

Disebutkan juga dalam rilis bahwa tahapan pengembangan Kebun Teh Organik untuk areal eksisting meliputi survey kondisi tanah, sosialisasi konsultan pertanian organik, pengaturan komposisi tanaman pangkas, manajemen pohon pelindung, pengendalian gulma mekanis dan pemetikan.

Diharapkan dengan pengembangan Kebun Teh Organik tersebut, komoditi teh Indonesia di dunia internasional dapat meningkat.

Sebab selama ini, seperti disebutkan dalam International Tea Committee (2020), produsen teh dunia didominasi oleh Cina dengan produksi 2.799 ribu ton/tahun, sedangkan Indonesia berada diurutan ke-7 dengan produksi 129 ribu ton/tahun.

Lily Setiadarma