Cerpen: Sepeda untuk Arman

Oleh: Rina Lestari, S.Pd

“ARMAN!”

“Tidak hadir, Bu.”

Ini hari ketiga, kataku dalam hati. Sudah tiga hari ini Arman tidak masuk. Tadi ketika aku masuk kelas, sebetulnya sempat kulirik kursi tempat biasa Arman duduk. Kosong memang. Hanya saja aku berpikir, mungkin saat aku masuk kelas, Arman masih di luar. Jadi saat aku mengabsen anak-anak, nama Arman pun kusebut.

“Ada yang tahu kemana Arman?” tanyaku.

Tak ada yang menjawab. Murid-muridku malah saling lirik.

“Sakit mungkin?” tanyaku lagi.

“Tidak tahu, Bu,” jawab Jatnika, Ketua Kelas VI, yang tadi menyebut ‘tidak hadir’ saat nama Arman kusebut.

“Siapa yang rumahnya berdekatan dengan rumah Arman?”

Tak ada yang menjawab.

Tidak biasanya Arman bolos hingga tiga hari berturut-turut. Bahkan kalau pun tidak masuk sehari saja, biasanya ada surat pemberitahuan yang dibawa tukang ojek ke sekolah, yang mengabarkan Arman sakit, atau ada keperluan keluarga mendadak. Kali ini surat pemberitahuan seperti itu tidak ada, hingga tiga hari berturut-turut.

“Mungkin, Bu, sebentar lagi Arman datang,” kata Jatnika lagi.

Mungkin, bisikku dalam hati. Arman memang kerap kali datang kesiangan. Dalam seminggu bisa dua-tiga kali Arman kesiangan. Mungkin karena rumahnya cukup jauh dari sekolah, sekitar 3 km. Jarak sejauh itu ditempuh dengan berjalan kaki, atau kadang-kadang naik ojek.

Sering aku perhatikan kalau Arman datang kesiangan. Wajahnya berkeringat. Baju seragamnya di bagian punggung juga basah oleh keringat. Sepertinya Arman kecapean. Saat kutanya, katanya dia setengah berlari dari rumah agar bisa segera tiba di sekolah.

“Kenapa tidak naik ojek?” tanyaku waktu itu.

Arman tidak menjawab. Dan aku paham. Tentu karena Arman tak punya ongkos, makanya ke sekolah, jalan kaki. Di sekolah pun Arman jarang kelihatan jajan. Tidak seperti teman-temannya, begitu jam istirahat, mereka berhamburan ke luar kelas, menuju kantin di belakang sekolah.

Arman tidak seperti itu. Saat teman-temannya jajan, Arman memang ikut ke luar kelas sambil membawa buku, lalu duduk di bangku panjang yang ada di taman sekolah. Di situ Arman membaca buku.Ini yang aku suka dari muridku yang satu ini. Bahkan guru-guru yang lain, yang pernah menjadi wali kelasnya, selalu membanggakan Arman, murid cerdas dan selalu meraih ranking pertama di kelasnya setiap tahun.

Mungkin karena itu pula, aku tidak bisa adil kepada murid-muridku.Kalau muridku yang lain datang terlambat, lalu alasannya dibuat-buat, misalnya karena terlambat bangun tidur, aku terkadang marah, atau menghukumnya berdiri di depan kelas.

Tapi kepada Arman, aku tidak bisa begitu, sekalipun keterlambatannya datang ke sekolah cukup sering. Aku hanya bisa menatap Arman ketika datang terlambat, lalu menyuruhnya duduk. Mungkin karena ketika dia datang terlambat, aku melihat raut muka yang penuh rasa bersalah di antara titik-titik keringat yang memenuhi wajahnya. Aku tak tega memarahinya.

Kemudian aku tahu dari buku Catatan Pribadi siswa. Arman tinggal bersama ibu dan adik bungsunya yang masih balita. Ayahnya sudah lama meninggal dunia. Untuk menopang kehidupan sehari-harinya, sang ibu berjualan goreng-gorengan.

Itulah mungkin kenapa Arman berangkat sekolah berjalan kaki, menempuh jarak sejauh sekitar 3 km. Sekalipun ada angkutan ojek, tapi Arman sangat jarang menggunakannya. “Tak ada ongkosnya, Bu,” kata Arman suatu kali datang terlambat, dan aku menanyakannya mengapa tidak naik ojek.

“Bu…,” kata Jatnika.

Aku terkejut. Beberapa saat tadi pikiranku melayang mengingat-ingat sosok Arman, sehingga lupa bahwa aku sedang berdiri di hadapan kelas, di hadapan murid-muridku.

“Baiklah anak-anak!” kataku kemudian, “Ayo kita mulai pelajaran Matematika,” seraya menyuruh anak-anak membuka buku Matematika halaman 121.

Hari itu aku memutuskan untuk berkunjung ke rumah Arman. Aku ingin tahu mengapa dalam tiga hari ini Arman tidak sekolah, tanpa alasan.Aku khawatir Arman putus sekolah. Dia sudah kelas VI, dan beberapa bulan lagi ujian akhir.

Aku minta diantar Nelis, karena katanya Nelis pernah berkunjung ke rumah Arman bersama beberapa temannya untuk berwisata di sebuah air terjun, tak jauh dari rumah Arman.

“Sehabis salat Asyar, Ibu tunggu di rumah ya,” kataku kepada Nelisketika kelas akan bubar.

Rumahku dan rumah Nelis cukup berdekatan. Dari SD tempat aku mengajar pun, rumah kami jaraknya sekitar setengah kilometer. Memang tidak terlalu jauh, tapi aku ke sekolah pakai motor sendiri, atau terkadang diantar suami sekalian berangkat ngantor di kantor kecamatan.

Setelah salat Asyar, aku bersiap-siap berangkat. Kebetulan di luar rumah kudengar Nelis bertanya kepada putraku, menanyakan aku, yang langsung dijawab dengan teriakan, “Mah, ada Teh Nelis!”

Aku pun segera keluar setelah pamit kepada suamiku. Di luar, aku menyapa Nelis, lalu menuju garasi untuk mengeluarkan sepeda motor. Tapi terhalang oleh sepeda anakku. Biasanya sepeda itu tersimpan di pojok garasai, karena anakku tak pernah memakainya lagi setelah dibelikan sepeda baru. Alasannya waktu itu, sepedanya sudah kuno, dan ingin yang model baru. Suamiku yang membelikannya, maklum Adang putra kami satu-satunya.

“Dang mengapa sepeda ini dikeluarkan?” tanyaku seraya menyuruh Adang, yang sedang berkeliling di halaman dengan sepeda barunya.

“Iya, nanti disimpan lagi di tempatnya, Mah. Tadi hanya nyoba pakai lagi,” kata anakku tanpa berhenti bersepeda.

Terpaksa aku menggeser sepeda itu agar motor bisa aku keluarkan dari garasi.

“Yuk, Lis, kita berangkat,” katakusaraya menyuruh Nelis naik boncengan.

Dari kota kecamatan tempat kami tinggal, motor yang aku kendarai masuk ke jalan desa yang cukup ramai dengan lalu-lalang motor ojek. Jalannya memang belum beraspal, tapi kondisinya cukup baik, tak ada yang renjul, sehingga sekitar 30 menit kemudian aku sudah sampai di rumah Arman, sebuah rumah panggung sederhana.

Kebetulan Arman sedang ada di tepas rumah bersama adik perempuannya yang berusia sekitar 3 tahun. Arman tampak terkejut ketika aku dan Nelis tiba-tiba sudah ada di depan rumahnya.

“Bu Guru…” Hanya itu yang terucap dari mulutnya, lalu buru-buru turun dari tepas, menyalamiku, menyalami Nelis. Kemudian tergesa masuk ke rumah, dan kudengar Arman berkata, “Mak, ada Bu Guru.” Tak lama, Arman keluar lagi membawa tikar, lalu menggelarkannya di tepas rumah.

Tanpa disuruh, aku dan Nelis duduk. Adik perempuan Arman yang sedang bermain boneka, duduk dekat pintu. Arman sendiri masuk lagi ke dalam rumah. Lalu keluar lagi dengan membawa ceret dan gelas air minum.

Sejenak aku terkesima oleh kesigapan Arman seperti itu, seperti orang dewasa yang kedatangan tamu ke rumahnya.

Mana ibunya? Belum sempat aku menanyakan itu, dari rumah keluar seorang wanita paruh baya dengan langkah perlahan, dituntun Arman. Kedua belah pelipis perempuan itu tertempel koyo putih. Wajahnya juga tampak pucat.

“Sudah empat hari ini Emak sakit,” kata Arman.

“Sudah berobat?” tanyaku.

“Tadi pagi sudah dibawa ke Puskesmas, diantar Pak RT,” katanya.

Arman duduk di samping ibunya, setelah mengisi gelas-gelas dengan air teh dari ceret alumunium. “Silakan Bu Guru,” lalu menengok kepadaNelis, “Ayo Lis, minum dulu. Hanya ini yang ada,” sambil tersenyum kecil.

“Maaf Neng Guru, tiga hari ini Arman tidak masuk sekolah. Padahal Emak sudah menyuruhnya agar tetap sekolah,” ujar ibunya Arman dengan suara perlahan.

Aku pun kemudian tahu alasan Arman tidak masuk sekolah, setelah ibunya bercerita panjang lebar. Arman terpaksa tidak berangkat sekolah, karena harus mengasuh adiknya, sementara ibunya sakit. Bahkan bukan itu saja. Selama ibunya sakit, Arman harus menanak nasi, masak dan semacamnya, untuk menyediakan makanan buat adik dan ibunya.

Alasan sering terlambat datang ke sekolah pun, terkuat. Arman kerap diminta ibunya, sebelum berangkat sekolah, untuk mengantarkan goreng-gorengan seperti bala-bala, comhu, gehu, dan pisang goreng, ke warung-warung yang ada di kampungnya.

Setelah beres, Arman baru berangkat sekolah, bergegas, setengah berlari. Itu pun terlambat juga tiba di sekolah. Kalau kebetulan ada sedikit uang lebih dari laba penjualan dagangannya, ibunya baru menyuruh Arman naik ojek agar cepat tiba di sekolah.

Aku terhenyak mendengar ceritanya. Sekecil itu, Arman harus ikut berjuang bersama sang ibu demi mempertahankan hidup keluarganya.

“Sabar, ya, Man,” kataku ketika akan pamitan. Tak lupa aku menyelipkan sedikit uang saat bersalaman dengan ibunya. Dan kudengar ia mengucapkan terima kasih, sambil kembali mohon maaf atas ketidakhadiran putranya di sekolah.

“Man, main sepeda yu!” Beberapa anak sebayanya tiba-tiba muncul di hadapan rumah Arman. Mereka datang berkendara sepeda. Satu-dua orang mengangguk kepadaku.

“Tidak bisa, Jam. Emakku masih sakit,” jawab Arman. Anak-anak itu pun segera beranjak lagi, memacu sepedanya di jalan desa.

“Kamu bisa bersepeda, Man?” tanyaku.

Arman hanya tersenyum kecil.

Lantas pikiranku kembali ke garasi rumah. Sepeda model lama anakku, yang tak tak lagi terpakai, tiba-tiba terbayang dalam pikiranku. Dan sepeda itu terus terbayang sepanjang jalan kami pulang dari rumah Arman. Lalu setibanya di rumah, aku ceritakan niatku kepada suamiku, dan juga kepada anakku, si pemilik sepedah kuno. Mereka sangat setuju.

“Tapi sebaiknya perbaiki dulu,” kata suamiku. “Bannya sudah gundul. Rantainya kata Si Adang sering copot. Sudah longgar. Suruh Mang Apeng untuk membawanya ke bengkel sepeda. Bannya ganti dengan yang baru.”

Beberapa hari kemudian aku memanggil Arman, yang sudah bersekolah lagi sejak sehari setelah aku dan Nelis berkunjung ke rumahnya. Karena ibunya berangsur membaik.

“Man bisa bantu Ibu beres-beres di rumah?”

“Di rumah Bu Guru?”

“Iya. Tapi bukan sekarang. Nanti setelah pulang sekolah. Kamu sudah tahu ‘kan rumah Ibu?”

“Ya, Bu. Aku ke sana nanti.”

Bubar kelas, aku pulang segera. Kebetulan anakku juga sudah pulang dari sekolahnya. Bahkan sudah bermain sepeda lagi ketika Arman tiba di rumahku.

“Kak Arman ya?” Kudengar tanya anakku, lalu mempersilakan Arman duduk di kursi di teras rumah. Saat aku menghampirinya, kulihat mata Arman sedang asyik memperhatikan anakku yang sedang bersepeda di halaman rumah. Lalu berbalik ke arahku, “Apa yang harus aku bantu, Bu?” sambil beranjak dari duduknya.

Tapi aku tak menjawab. Aku memanggil anakku.

“AyoDang, kemarin kamu mau apa setelah Arman ada di sini,” kataku setelah putraku berada di teras rumah.

“Oh iya. Sebentar ya Kak Arman,” kata anakku seraya pergi ke garasi di samping rumah. Kulihat raut wajah Arman penuh keheranan.

Tak lama, anakku kembali dengan membawa sepeda model lama, yang sudah diperbaiki. Lalu menghampiri Arman, “Ini buat Kak Arman.”

Entah perasaan apa yang sedang berkecamuk di hati Arman. Sebenar-sebentar melihat kepadaku, sebentar-sebentar menatap anakku. Lalu menatap sepeda yang ada di hadapannya.

“Bu, ini…” katanya masih keheranan.

“Iya. Sepeda ini untuk kamu, Man,” kataku sambil menatap muridku.

“Untukku?”

“Iya untuk Kak Arman,” Anakku yang menjawab. “Ayo, Kak, dicoba. Bareng sama aku bermain sepeda sebentar. Di halaman rumah saja,” seraya menuntun tangan Arman agar memegang stang sepeda itu. Anakku sendiri mendahului ke halaman rumah. Dan sambil melambaikan tangan mengajak Arman segera turun dari teras, anakku sudah mengayuh sepedanya.

Arman menatapku.

Aku mengangguk.

Ada bahagia yang merekah dalam hatiku ketika Arman menaiki sepeda itu, lalu mengayuhnya mengejar anakku.

“Kuharap dia tak terlambat lagi tiba di sekolah. Kan bisa pakesepeda.” Suara suamiku. Dia sudah berdiri di sampingku, sedang memperhatikan dua bocah yang tampak riang bermain sepeda.

***