WARTAPARAHYANGAN.COM
BANDUNG – Para penjual pulsa di Kabupaten Bandung, di antaranya Kartika, mengaku sangat tidak setuju alias menolak adanya aturan penarikan pajak terhadap para penjual pulsa.
Pernyataan di atas dikemukakan Kartika terkait adanya kebijakkan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/PMK.03/2021 tentang pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) serta Pajak Penghasilan (PPH) atas penjualan pulsa, kartu perdana, token dan voucer listrik.
“Keuntungannya saja hanya 500 perak atau paling besar hanya bisa sampai 1.500 saja. Kalau kena pajak, untungnya jadi berapa?” Tanya Kartika di Soreang, Jumat (29/1/2021).
Kartika mengungkapkan bisnisnya tersebut dijalankan secara online atau melalui aplikasi whatsapp. Selain memang keuntungan yang didapatkan kecil, pemilik dari Ayu Cell itu mengungkapkan bahwa harga pulsa dari tahun ke tahun selalu naik.
“Kalau misalnya sampai kena pajak, terpaksa naikin harga jualnya,” ungkap Kartika.
Pemilik Konter yang ada di Jalan Babakan Tiga Ciwidey, Umar mengatakan bahwa pihaknya belum mendapatkan pemberitahuan dari pusat terkait dengan penerapan pajak bagi penjual pulsa. Namun, jika kebijakan tersebut benar-benar diterapkan, pasti akan menuai protes dari para pemilik konter.
“Kalau mendadak pasti setiap konter protes. Apa lagi sekarang juga usaha konter sedang sepi, tapi malah kena pajak,” ujar Umar
Bisnis pulsa ini sudah ditekuni oleh Umar selama 18 bulan, disamping jual kerudung juga. Dan untuk proses penjualannya, Umar menggunakan satu kios. Setiap transaksi pulsa token, dirinya bisa mendapatkan untung sebesar Rp2.500. Umar menyarankan, penerapan pajak tersebut sebaiknya dibebankan kepada server yang sudah memiliki keuntungan yang besar.
“Jadi yang otlet kecil, enggak kena imbas dari pajak pemerintah. Kalau kena pajak, pastinya harga naik, dan respon konsumen ke usaha konter juga kurang baik,” pungkas Umar.
Lily Setiadarma