Hasil Investigasi FPHJ, Keputusan KLHK Dinilai Rugikan Puluhan Petani Hutan Desa Tenjolaya

WartaParahyangan.com

BANDUNG – Forum Penyelamat Hutan Jawa (FPHJ) menyuarakan penolakan keras terhadap SK 9437 yang diterbitkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tahun 2023.

Keputusan tersebut memicu konflik serius di Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, karena puluhan petani justru terusir dari lahan yang telah mereka kelola selama bertahun-tahun. FPHJ menilai ada kejanggalan dalam penetapan penerima hak kelola.

Ketua FPHJ, Eka Santosa, memimpin investigasi ke lahan sengketa di Desa Tenjolaya. Rombongan menyambangi lokasi di Kampung Jati, Petak 18, Blok Batumunding, di kawasan hutan RPH Cibodas. Dalam kunjungan itu, mereka berdialog langsung dengan petani dan anggota Kelompok Tani Hutan (KTH) yang merasa dirugikan.

Para petani mengaku telah menggarap lahan secara sah. Bahkan, mereka menanam kopi atas persetujuan Perhutani melalui perjanjian kerja sama dengan LMDH sejak tahun 2004. Namun, dengan hadirnya SK 9437, posisi mereka tergeser oleh pihak-pihak yang tidak pernah terlibat di lapangan.

Sekretaris FPHJ, Dadang Hendaris pun lalu menelusuri isi SK 9437. Ia menemukan 443 nama yang tercatat sebagai penerima akses kelola di lahan seluas 355,96 hektar. Setelah dihitung, setiap orang hanya memperoleh kurang dari satu hektar.

Menurut Dadang, hal ini tidak rasional dan justru memicu konflik horizontal. Terlebih lagi, banyak nama dalam daftar tersebut tidak dikenal oleh masyarakat lokal. “Ada nama, tapi orangnya tidak pernah terlihat di sini. Kami curiga data itu fiktif,” jelas Dadang.

Lebih jauh, ia menyebut batas wilayah dalam SK tersebut tidak jelas. Akibatnya, lokasi yang selama ini digarap petani justru tumpang tindih dengan nama-nama baru yang muncul dalam surat keputusan.

Aki Dadi, Ketua KTH Tenjolaya, merasa kecewa dengan perlakuan negara. Ia menyatakan, petani selama ini menjaga kelestarian hutan. Mereka menanam tanaman konservasi dan tidak merusak lingkungan. Namun tiba-tiba status mereka dianggap ilegal.

“Tanaman yang kami rawat, sekarang diakui oleh pihak lain. Lebih parah, kami dianggap pencuri di lahan sendiri,” ujarnya geram.

Salah satu korban, Nedi, bahkan dilaporkan ke pihak berwajib atas tuduhan mencuri hasil panen. Padahal ia sendiri yang menanam dan memelihara tanaman tersebut selama bertahun-tahun.

Atas kondisi seperti itu, Ketua FPHJ Eka Santosa mendesak pemerintah mencabut SK 9437 dan melakukan audit total terhadap distribusi akses kelola lahan hutan. Ia menilai kebijakan ini cacat secara hukum dan mencederai prinsip perhutanan sosial.

“Kami mendukung program perhutanan sosial, tetapi harus adil dan akuntabel. Jangan sampai dijadikan alat monopoli lahan oleh elite tertentu,” tegas Eka.

Karena itu, FPHJ menuntut transparansi dalam proses verifikasi nama-nama penerima akses. Tanpa keterbukaan, kebijakan tersebut hanya akan memicu konflik berkepanjangan.

FPHJ juga mengkritik diamnya Pemkab Bandung dan Pemprov Jawa Barat atas persoalan ini. Mereka menilai pemerintah daerah seharusnya melindungi petani, bukan membiarkan mereka disingkirkan secara sepihak.

“Pemda seharusnya jadi garda terdepan membela rakyatnya. Bukan menonton saja,” ucap Dadang.

Ia juga meminta DPRD setempat melakukan sidak dan membuka forum dengar pendapat. Menurutnya, akar masalah harus dibongkar secara terbuka agar tidak berulang di wilayah lain.

Sebagai tindak lanjut, FPHJ membuka posko aduan dan pengaduan masyarakat. Mereka juga mengumpulkan data untuk diserahkan ke Ombudsman, Komnas HAM, dan KPK jika ditemukan unsur penyimpangan atau manipulasi.

“Kami akan lawan lewat jalur hukum. Jangan ada satu pun petani yang dikorbankan demi kepentingan politik atau bisnis,” kata Eka Santosa.

FPHJ tengah menyusun dokumen gugatan administratif untuk membatalkan SK 9437. Mereka juga menggalang dukungan organisasi masyarakat sipil dan lembaga kampus untuk ikut mengawal proses ini.

FPHJ juga menegaskan bahwa petani yang tergabung dalam KTH adalah mitra konservasi, bukan perambah hutan. Mereka telah membuktikan komitmen terhadap kelestarian dengan menanam kopi dan pohon konservasi lainnya. Jika petani diusir, maka keberlanjutan hutan akan terancam.

“Petani justru menjaga hutan tetap hidup. Negara harus hadir di sisi yang benar,” tutup Eka.

Lily Setiadarma

Leave a Reply