WartaParahyangan.com
BANDUNG – Program Rehabilitasi Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu) seharusnya hadir sebagai solusi nyata bagi masyarakat miskin. Tujuan utamanya cukup mulia: menciptakan permukiman layak, menurunkan angka kemiskinan ekstrem, serta meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan sosial.
Namun di balik semangat itu, masih banyak warga yang luput dari perhatian, meski kondisi mereka sangat memprihatinkan. Salah satunya di wilayah RT 03, RW 02, Kampung Pamekarsari, Desa Ciwidey, Kecamatan Ciwidey, Kabupaten Bandung.
Di sana, keluarga Asep Kosim Kosasih hidup dalam kondisi yang jauh dari standar kelayakan. Meski tinggal di wilayah yang terbilang dekat dengan pusat pemerintahan, keluarganya justru belum mendapatkan intervensi apa pun dari program perbaikan Rutilahu.
Ketua RW 02 Pamekarsari, Dadan Hidayat, menyuarakan keprihatinannya dengan tegas. Ia menuturkan bahwa sudah beberapa kali pihaknya mengajukan bantuan untuk memperbaiki rumah warganya itu, namun selalu mentok pada alasan administratif yang tidak berpihak pada kondisi nyata di lapangan.
“Kemarin ada tawaran dari salah satu partai politik. Katanya bisa bantu satu rumah per RW, tapi sampai sekarang belum ada realisasi. Setelah dicek ke DTKS, ternyata keluarga Pak Asep terklasifikasi masuk ke kelompok 6 dan 10, yang katanya dianggap mampu. Ini jelas tidak masuk akal,” ujar Dadan, penuh kekesalan.
Padahal jika menilik langsung ke rumah tersebut, siapapun bisa menyimpulkan bahwa tempat tinggal itu sangat tidak layak huni. Rumah berukuran 4 x 6 meter itu hanya memiliki satu kamar. Di dalamnya tinggal enam orang, termasuk dua anak perempuan yang sudah remaja dan seharusnya memiliki ruang pribadi yang layak.
Selain itu, kondisi sanitasi pun sangat buruk. Kamar mandi sempit dan tidak memadai. Keluarga tersebut juga menggunakan sebagian ruangan sebagai tempat usaha kecil, di mana sang ibu menjalankan produksi siomay sebagai mata pencaharian harian.
Menurut Dadan, ini bukan semata persoalan teknis verifikasi data. Ia menekankan bahwa perangkat RT dan RW adalah pihak yang paling memahami kondisi riil warganya. Karena itu, keputusan bantuan semestinya mempertimbangkan informasi langsung dari bawah, bukan hanya berdasarkan data administratif dari pusat.
“Kalau hanya berpatokan pada DTKS yang tidak akurat, banyak warga kami yang benar-benar membutuhkan malah terpinggirkan. Ini sangat ironis,” katanya.
Dadan juga menyebutkan bahwa usulan bantuan sering tertunda akibat prioritas pembangunan desa yang tidak menyentuh masalah perumahan. Tahun ini, misalnya, anggaran desa hanya mampu merealisasikan pembangunan Posyandu. Sementara itu, pengajuan Rutilahu kembali tertunda karena tidak masuk skala prioritas.
Situasi ini mencerminkan ketimpangan dalam pelaksanaan kebijakan publik. Di satu sisi, pemerintah pusat menggaungkan komitmen untuk memberantas kemiskinan ekstrem. Namun di sisi lain, implementasinya di tingkat daerah kerap terbentur pada prosedur dan keterbatasan anggaran.
Perlu ada terobosan konkret agar program-program sosial tidak hanya menjadi jargon. Evaluasi mendalam terhadap sistem pendataan dan distribusi bantuan harus segera dilakukan. Apalagi jika melihat fakta bahwa rumah Asep Kosim berdiri hanya beberapa kilometer dari kantor pemerintahan kecamatan.
Sementara itu, Asep Kosim sendiri lebih memilih untuk diam. Ia tetap bekerja sebagai buruh bangunan demi menyambung hidup, sementara istrinya terus mengolah siomay dari dapur sempit yang bercampur dengan area tidur anak-anak mereka.
Dua anak perempuannya kini duduk di bangku SMA, namun tidak memiliki ruang belajar yang layak. Anak tertua bahkan terpaksa putus sekolah karena harus membantu pekerjaan ayahnya.
Kondisi seperti ini jelas tidak dapat dibiarkan. Pemerintah daerah dan instansi sosial terkait harus membuka mata terhadap kenyataan di lapangan. Bantuan tidak seharusnya bergantung sepenuhnya pada data semata. Peninjauan langsung ke lokasi dan masukan dari pengurus lingkungan harus menjadi landasan utama.
Transparansi dan fleksibilitas kebijakan sangat dibutuhkan. Jika tidak, maka program Rutilahu hanya akan menyentuh segelintir warga yang beruntung masuk kategori “tepat sasaran”, meskipun kenyataannya justru lebih layak warga lain yang tidak masuk daftar.
Melalui kesempatan ini, Ketua RW 02 mengajak semua pihak untuk lebih peduli. Ia berharap pemerintah kabupaten maupun provinsi tidak menutup mata terhadap fakta semacam ini. Menurutnya, warga seperti Asep Kosim tidak butuh belas kasihan, tetapi butuh keadilan dan perhatian.
Sudah saatnya kita bersama-sama memastikan tidak ada lagi warga yang harus tinggal di rumah tidak layak hanya karena kesalahan sistem pendataan.
Lily Setiadarma