Oleh: Rina Lestari, S.Pd
Kepala SMP PGRI Karangtengah, Cianjur
JAUH sebelum Coronavirus Disease of 2019 (Covid-19) muncul dan menjadi pandemi, sebetulnya apa yang disebut belajar dalam jaringan (daring), atau belajar secara online, atau e-learning, secara parsial sudah diterapkan di beberapa sekolah di perkotaan, khususnya sekolah-sekolah yang memiliki jaringan internet dan komputer yang memadai.
Namun saat itu di Indonesia e-learning belum populer, bahkan untuk sekolah-sekolah yang jauh di luar kota, e-learning sama sekali belum dikenal.
Barulah ketika penyebaran Covid-19 resmi dinyatakan sebagai pandemi, yang diiringi dengan kebijakan pemerintah meniadakan Pembelajaran Tatap Muka (PTM) di sekolah dan menggantinya dengan belajar daring dari rumah, sistem e-learning tiba-tiba menjadi sangat populer, sekaligus mengejutkan banyak pihak, mulai dari orang tua murid, guru, hingga dinas/instansi terkait.
Bagi orang tua murid, keterkejutan muncul karena mereka tiba-tiba harus “menjadi guru” di rumah, paling tidak menemani anaknya yang sedang belajar daring, dengan segala konsekwensinya, seperti merasa kewalahan membantu anaknya belajar karena ternyata anaknya bandel atau lambat memahami pelajaran.
Sedangkan bagi anak sendiri, terutama di awal penerapan belajar sistem daring, belajar seperti itu tidak menyenangkan, sekalipun misalnya dia sudah terbiasa pegang handphone cerdas (smartphone). Apalagi si anak dibatasi keluar rumah agar terhindar dari penularan Covid-19 sebagaimana tujuan pemerintah menyelenggarakan belajar dari rumah. Kondisi itu membuat anak merasa terkekang.
Bagaimana bagi para guru? Mereka inilah sebetulnya yang paling dikejutkan dengan penerapan belajar daring. Sebab harus diakui saat itu sebagian besar guru-guru di Tanah Air masih “gaptek” akibat ogah-ogahan belajar komputer, sekalipun umumnya mereka “mahir” bermedia-sosial di Facebook, Instagram, Whatsapp, dan semacamnya.
Tapi sekarang mereka dituntut harus bisa mengoperasikan komputer agar bisa membuat modul pelajaran, misalnya. Kemudian juga mampu mengoperasikan internet agar modul pelajaran yang dibuatnya bisa tersampaikan kepada anak didik di rumah.
Pihak kepala sekolah pun dituntut untuk memberikan fasilitas kepada para gurunya agar belajar daring dapat terlaksana. Begitu juga dinas/instansi terkait dituntut untuk memberikan pelatihan dan pendidikan (diklat) pembelajaran daring. Karena memang belajar daring tidak semata menyampaikan materi pelajaran secara online, tapi harus disertai dengan metodenya agar belajar daring hasilnya terukur.
Seperti itulah sekelumit rumitnya belajar daring di awal penerapannya, yang ternyata kemudian (akibat belum berakhirnya pandemi Covid-19) telah menggeser paradigma belajar mengajar dari konvensional atau PTM di sekolah ke sistem pembelajaran digital.
Memang saat ini di daerah-daerah tertentu (dilihat dari level penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat, atau PPKM) seperti Kabupaten Cianjur dan sebagian besar kabupaten/kota di Jawa Barat, telah mulai dilaksanakan PTM terbatas dengan protokol kesehatan yang ketat.
Namun kehadiran murid di sekolah, masih sangat terbatas, baik dilihat dari hari masuknya maupun lamanya belajar di sekolah. Hal itu berarti, sebagian besar materi pelajaran masih diperoleh siswa secara daring.
Pertanyaannya kemudian, apakah setelah pandemi Covid-19 berakhir dan seluruh sekolah “kembali” melaksanakan PTM seluas-luasnya, sistem belajar daring atau e-learning akan ditinggalkan sepenuhnya?
Menurut hemat penulis, pandemi Covid-19, telah membuka cakrawala kita bahwa kemajuan teknologi informasi dapat dimanfaatkan untuk kegiatan belajar mengajar, bukan sekedar dimanfaatkan sebagai materi pelajaran.
Makanya penulis menggunakan tanda petik (“) untuk kata ‘kembali’ dalam kalimat “kembali melaksanakan PTM”. Artinya, kegiatan PTM di sekolah tidak akan seperti PTM sebelum adanya pandemi. Tapi PTM pasca pandemi akan diwarnai digitalisasi. Ini karena begitu pesatnya perkembangan teknologi informasi, sehingga sekolah, termasuk para gurunya, akan ketinggalan zaman bila mengabaikan e-learning.
Hal itu agaknya talah diantisipasi oleh pemerintah. Paling tidak bisa disimak dari berita yang dimuat wartaparahyangan.com edisi tanggal 24 Oktober 2021.
Dalam berita berjudul “Hadapi Transformasi Digital, Pemkab Cianjur Terus Tingkatkan Kualitas Pelayanan Pendidikan” disebutkan bahwa Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKSI) menggelar Webinar Pendidikan bertema “Membentuk SDM guru daerah yang memiliki keterampilan dan mampu beradaptasi dalam penguasaan media digital untuk pembelajaran”.
Dalam berita itu, Bupati Cianjur H. Herman Suherman menyebutkan, saat ini kita sedang menghadapi transformasi digital di bidang pendidikan, yang salah satunya mengakibatkan pergeseran paradigma guru dalam kegiatan belajar mengajar.
Karena itu, kata Bupati Cianjur dalam berita tersebut, untuk menghadapi pergeseran paradigma guru itu, Pemkab Cianjur mendorong semua guru di setiap jenjang untuk memiliki kompetensi cakap bermedia digital, dan cakap numerasi, sehingga guru mampu menghadirkan sikap kebhinekaan global di tengah pesatnya kemajuan dunia digital dalam kegiatan pembelajaran.
Jadi menurut hemat penulis, e-learning diera digital ini semakin diperlukan, sehingga guru mau tidak mau harus terus belajar untuk menguasai media digital, serta membiasakan para anak didiknya untuk memanfaatkan smartphone sebagai sarana untuk belajar dan meningkatkan kompetensinya.***