Peringati Harlah Pancasila 1 Juni, Yoga Santosa Ajak Generasi Z Tumbuhkan Semangat Bela Negara

Sekretaris DPD Partai Golkar Kabupaten Bandung, Yoga Santosa.

WartaParahyangan.com

BANDUNG – Sekretaris DPD Partai Golkar Kabupaten Bandung, Yoga Santosa, mengajak para generasi muda bangsa khususnya mereka yang lahir dalam rentang tahun 1997 sampai dengan tahun 2012 atau biasa dikenal sebagai Generasi Z untuk menumbuhkan sikap bela negara sebagai wujud kecintaan dan pengamalan Pancasila.

“Cara pandang jiwa besar para founding fathers bangsa pada masa pembahasan Pancasila di masa kelahirannya harus menjadi perhatian dan pemahaman generasi masa kini. Pada saat itu kita tahu bagaimana para ulama dan pejuang kemerdekaan dari seluruh pelosok bumi Nusantara bisa membangun kesepakatan bangsa yang mempersatukan kita melalui apa yang dikenal sebagai Pancasila,” kata Yoga Santosa kepada wartawan di Bandung, Kamis (1/6/2023).

Disebutkan Yoga, bangsa Indonesia dengan segenap potensi yang ada, merupakan bangsa yang besar dan kaya. Memiliki keunggulan demografi, dengan posisi strategis di antara dua titik silang antara dua benua dan dua samudra dimana dari masa ke masa posisi ini menjadi jalur-jalur distribusi barang dan jasa internasional.

“Tanah air kita juga memiliki sumber daya alam hayati dan non-hayati yang melimpah serta diberkahi dengan sumber energi yang seakan tak ada habisnya. Itu semua perlu dijaga dan dirawat, caranya adalah dengan merawat ideologi Pancasila pada setiap individu anak bangsa,” paparnya.

Indonesia, kata Yoga, bahkan lebih tepat dijuluki sebagai ‘the winning region’ atau kawasan pemenang karena negara ini memiliki segalanya.

“Yang patut menjadi pemahaman dasar para Generasi Z, Pancasila lahir merupakan hasil dari satu kesatuan yang diproses secara gradual dimulai dari rumusan Pancasila 1 Juni 1945 yang dipidatokan Ir. Sukarno, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan rumusan final Pancasila 18 Agustus 1945,” sebut Yoga yang juga Ketua Umum Ikatan Kader Bela Negara Nasional itu.

Menurut Yoga, Generasi Z adalah generasi setelah Generasi Milenial, generasi ini merupakan generasi peralihan Generasi Milenial dengan teknologi yang semakin berkembang pesat. Beberapa di antaranya merupakan keturunan dari Generasi X dan Milenial yang sudah serba Artificial Intelligence (AI) atau mengedepankan kecerdasan buatan dan telah menjadi topik yang semakin populer dan menarik dalam beberapa tahun terakhir.

Oleh karena itu, kata dia, mengenalkan Pancasila kepada generasi ini tentu berbeda cara pendekatannya. Karena kebesaran bangsa Indonesia dengan segala sumber dayanya itu sangat rentan menjadi negara yang hancur dan gagal (failed state). Karena Indonesia pada dasarnya merupakan negara yang memiliki perbedaan dari segala bidang (naturally fragmented).

“Keanekaragaman baik suku, agama, maupun golongan sangat mudah memicu terjadinya disintegrasi bangsa,” sambungnya.

Perpecahan

Diungkap Yoga, bila ditelusuri dari sejarah dunia, sejak 1991 tercatat ada 3 negara terpecah oleh konflik yang disebabkan bahasa, ekonomi, dan agama, sehingga hasilnya, 23 negara baru memproklamasikan diri dengan warisan konflik yang berkepanjangan.

“Sebagai contoh, sebut saja Yugoslavia, Sudan, dan Uni Soviet. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa beberapa kali Indonesia juga pernah dihadapkan pada perpecahan antara saudara sebangsa. Namun, pada akhirnya negara ini mampu untuk bertahan,” ujarnya.

Kemampuan untuk bertahan dari perpecahan bangsa itu, kata dia, bukan tanpa sebab. Hal ini antara lain karena bangsa Indonesia memiliki alat pemersatu bangsa (national cohesion) yang terbentuk secara alamiah dari nilai-nilai luhur bangsa Indonesia, yaitu ideologi bangsa yang mengkristal dari seluruh sudut pelosok negeri Indonesia dan ideologi itu disebut Pancasila,” paparnya.

“Bila kita menengok ke belakang pada zaman majapahit, Mpu Tantular di dalam Kitab Sutasoma telah menuliskan ‘Bhinneka Tunggal Ika, Tan Hana Dharma Mangrva’ yang mengisahkan bahwa pada masa itu tidak ada perselisihan sedikitpun yang disebabkan perbedaan baik agama maupun suku bangsa,” ungkapnya.

Hal ini bukti bahwa menghormati perbedaan telah diyakini nenek moyang bangsa Indonesia beratus-ratus tahun yang lalu. Sementara itu, di belahan dunia lain, sekelompok manusia masih memperlakukan manusia lainnya sebagai budak yang dipekerjakan secara rodi tanpa upah layak atas dasar perbedaan ras semata.

“Oleh karena itu, sangat disayangkan apabila sejarah kerukunan bangsa Indonesia yang sudah tumbuh beratus-ratus tahun ini harus dihancurkan oleh kebencian yang disebabkan oleh keserakahan dan perebutan kekuasaan di antara kelompok-kelompok tertentu,” jelasnya.

Diungkapkan Yoga, kita tentu tidak ingin terjadi perpecahan seperti negara-negara itu di negara yang kita cintai ini. Tanggung jawab ini terletak pada kita semua, terlebih pada bahu dan pundak para generasi muda yang hidup di zaman terkini khususnya bagi generasi milenial atau yang populer saat ini di sebut Generasi Z.

Generasi milienial atau Generasi Z berdasarkan teori William Straus dan Neil Howe, kata Yoga, saat ini kira-kira berumur antara 18–36 tahun, merupakan generasi di usia produktif. Generasi yang akan memainkan peranan penting dalam kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.

“Keunggulan generasi ini memiliki kreativitas tinggi, penuh percaya diri serta terkoneksi antara satu dengan lainnya. Namun, karena hidup di era yang serba otomatis, generasi ini cenderung menginginkan sesuatu yang serba instan dan sangat mudah terpengaruh dan dipengaruhi,” ungkapnya.

Hal ini, kata Yoga, menjadi titik kritis bagi masa depan negara dan bangsa kita. Sungguh merupakan suatu ironi di tengah masifnya perkembangan era digital dan teknologi komunikasi saat ini, tetapi di sisi lain, ternyata hal itu tidak mampu mendekatkan dan menyatukan anak bangsa.

“Era digital dalam pergaulan komunikasi global terbukti memberi jaminan akses dan kecepatan memperoleh informasi. Akan tetapi, acapkali menciptakan jarak serta membuat tidak komunikatif. Bahkan nyaris berujung dengan rusaknya hubungan interpersonal,” katanya.

Terkini, jelas Yoga, teknologi komunikasi dan informasi telah mengubah perang konvensional menjadi perang modern dengan menggunakan teknologi, media massa, internet (cyber war). Sasarannya sangat nyata dan jelas yaitu ketahanan ekonomi, pertahanan dan keamanan, budaya, ideologi, lingkungan, politik, karakter dan lain-lain.

Serangan Pintar

Disadari atau tidak banyak pihak yang sepertinya tidak ingin Indonesia menjadi bangsa yang besar dan hebat. Kita sering menerima tekanan dan pola serangan pintar melalui F-7, food, fashion, film dan fantasi, filosofi, dan finansial.

“Serangan terhadap filosofi dan finansial ialah hal yang paling mengkhawatirkan. Serangan terhadap filosofi yang paling mengkhawatirkan yang merupakan bentuk perang ideologi dan pikiran agar terjebak pada pola ideologi liberalis, kapitalis, sosialis, dan radikalis,” tegas Yoga.

“Nah, untuk membentengi diri dari kehancuran akibat pesatnya perkembangan teknologi dan upaya-upaya memecah bangsa Indonesia ini, maka bangsa ini harus kembali kepada filosofi Pancasila sebagai ideologi bangsa,” sambungnya.

Pancasila sebagai falsafah bangsa Indonesia, telah berkembang secara alamiah dari perjalanan panjang sejarah, berisikan pandangan hidup, karakter dan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia.

Karena itu, kata Yoga, nilai-nilai luhur yang terkandung di dalam Pancasila seperti semangat bersatu, menghormati perbedaan, rela berkorban, pantang menyerah, gotong royong, patriotisme, idealisme, nasionalisme, optimisme, harga diri, kebersamaan, dan percaya pada diri sendiri sudah sepatutnya dijadikan cara hidup (way of life) seluruh anak bangsa khususnya generasi milenial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

“Pancasila tidak perlu lagi diajarkan secara formal dengan tampilan kaku, tetapi yang terpenting ialah hakikatnya tetap terpelihara dan diamalkan. Dalam melaksanakan langkah-langkah itu, diperlukan sinergisme lintas kelembagaan, untuk bersama-sama mengaktualisasikan Pancasila melalui sistem dan dinamika kekinian,” tambah Yoga.

Kampus dan sekolah sekolah memegang peranan penting dalam menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada generasi milenial sehingga tidak ada indikasi perkembangan paham lain.

“Generasi milenial harus berada di depan, memegang lentera untuk mencegah paham-paham yang bertentangan dengan jati diri bangsa Indonesia dan ideologi Pancasila agar tidak masuk ke dalam kampus dan sekolah sekolah sehingga masa depan pendidikan dan nasib generasi penerus bangsa ke depan tidak berada di jalan yang tersesat,” pintanya.

Arah perjalanan bangsa ini berada di tangan generasi milenial, generasi muda yang saat ini tengah membaca tulisan ini, yang akan menerima tongkat estafet pembangunan.

“Mari kita jaga, rawat dan peliharalah nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan keseharian kita,” ajak Yoga.

Asep R. Rasyid