WartaParahtangan.com
CIANJUR – Ratusan penonton tertuju pada panggung sederhana namun cukup artistik, membuat semua mata fokus memandang. Pagelaran Mamaos Cianjuran super keren dalam dua dasa warsa terakhir dengan menampilkan penembang lintas generasi berbeda dalam satu panggung itu berhasil menggiring penonton berdecak.
Tampilan unik para seniman senior dan yunior saat memperingati satu tahun gempa bumi Cianjur di Gedung Dewan Kesenian Cianjur (DKC) Jalan Suroso Cianjur, Selasa (28/11/2023) lalu itu dihadiri ratusan penonton yang sebagian besar para penikmat seni Mamaos Cianjuran termasuk mereka yang tergolong generasi-z.
Panitia dengan elok menempatkan para pelajar dan penikmat seni remaja ini berada di deretan penonton paling depan, sehingga bisa lebih jelas menikmati bait demi bait tembang yang dinyanyikan dengan penuh syahdu tersebut.
“Sempalan mamaos nu nembe dihaleuangkeun ku simkuring mangrupi gambaran kumaha kaayaan mamaos tembang sunda Cianjuran di Cianjur kiwari lir tangkal nu ngarangrangan, lawas taya pucukan, daunna nungtut muguran, tetebiheun karembangan, pimelangen pisan. (Sebagian bait lagu yang barusan saya nyanyikan merupakan gambaran bagaimana keadaan Mamaos Tembang Sunda Cianjuran di Cianjur saat ini ibarat pohon yang meranggas, sudah lama tak bertunas, daunnya berjatuhan),” kata Dhika Dzikriawan seorang penembang generasi baru Mamaos Cainjuran yang juga Ketua Panitia acara tersebut.
Saat itu Dika sempat melantunkan tembang berjudul ‘Melang’ di awal sambutannya. Alih-alih membuat penonton langsung tergiring suasana syahdu, terlebih lampu ruangan yang ditata dalang kondang asal Cianjur dari Putra Giriloka, Kiai Kodrat Taryana, saat itu diredupkan.
“Padahal upami urang uninga ieu seni warisan karuhun khas Cianjur teh parantos diistren minangka warisan budaya tak benda Indonesia taun 2015 ku Kemdikbud RI (Padahal seperti kita ketahui, seni warisan leluhur khas Cianjur ini telah ditetapkan sebagai warisan budaya tah benda Indonesia pada tahun 2015 oleh Kemendikbud RI,” sambung alumnus Pasca Sarjana Universitas Gadjah Mada Jogjakarta itu dalam bahasa Sunda yang kental.
Selain itu, lanjut Dika, Mamaos Cianjur sudah didukung oleh regulasi yang mapan melalui Perda No. 10 Tahun 2020 dan Peraturan Bupati Nomor 18 Tahun 2021, sehingga sudah semestinya mendapat tempat terhormat untuk bisa terus dikembangkan.
“Pelestarian Mamaos Cianjuran adalah tanggung jawab kita semua seluruh masyarakat Cianjur, bukan semata tanggung jawab pemerintah, komunitas atau masyarakat tembang Sunda Cianjuran saja,” ujar Direktur Program dan Pengembangan SDM Yayasan Kebudayaan Lokatmala Indonesia itu.
Peringatan satu tahun gempa Cianjur oleh para pelestari seni Mamaos Cianjuran lintas generasi ini disuport oleh Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah IX Provinsi Jawa Barat Kemendikbudristek RI, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur, Yayasan Wira Budaya termasuk Yayasan Kebudayaan Lokatmala Indonesia atau Lokatmala Foundation.
Salah satu tokoh penembang dan pemetik kecapi Cianjuran, DR. Yus Wiradiredja, mengaku terharu atas pagelaran yang menampilkan para penembang senior dan yunior lintas generasi ini.
“Ini harus terus dikembangkan, harus terus diupayakan supaya mendapat tempat terbaik, agar Mamos Cianjuran bisa dinikmati dan lestari dari generasi ke generasi,” kata Dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung tersebut.
Pada kesempatan itu, Yus Wiradiredja menceritakan bahwa seni Mamaos Cianjuran merupakan salah satu musik tradisional Jawa Barat yang berasal dari Cianjur sejak dua abad lalu dan masih lestari hingga kini.
“Alhamdulillah hingga kini masih selalu dilaksanakan berbagai pasanggiri atau perlombaan yang secara rutin salah satunya diselenggarakan oleh Damas (Daya Mahasiswa Sunda),” sambung Dewan Pembina Yayasan Wirabudaya Indonesia itu.
Bahkan, kata dia, karena memiliki nilai (value) yang tinggi secara filosofis Tembang Sunda Cianjuran sudah dikenal hingga ke mancanegara. Di antaranya berdasarkan data yang dimilikinya sejak tahun 1970-an hingga tahun 2000 beberapa acara di kawasan Eropa, Asia, Amerika sempat menampilkan seni leluhur Cianjur ini.
Para tokoh penembang yang semantiasa mengisi ruang-ruang Mamaos Cianjuran di zamannya hingga hari ini tampil bersama dengan lantunan tembang yang mampu membuat penonton terpukau. Terlebih saat penembang senior seperti Mamah Tati Syafitri, Heni Suhaeni, Nani Nurbani dan Cucu Suminar ikut nembang dengan suaranya yang khas.
Tampil pula pemilik suara apik lainnya seperti Nina Nurnaningsih, Iis Siti Rohmah, Enung Sunariah, Wiwin Ruswiani, Lia Amalia, Dian Wahyuni, Nina Kurniasih, Firni Apriliani Sifa, Dianopita Mustika dan lain-lain. Semuanya dipadukan dengan penembang generasi baru seperti Neng Sely Zawahirul Madaniyah, Nurul Khairunisa, Sansha Azani Fajariah, Nazareta Arassy, Grisela Dita Fridayanti dan Vanesa Aurel Nurhafiz.
Kemudian sejumlah penembang laki-laki juga ikut menyeimbangkan suasana kebatinan saat itu dengan tampilnya penembang Dadan Iskandar, Asep Juanda, Dzaki Naufal Arifin, Endi Naredo, Irfan Abdi Alwali serta Mochamad Fadillah Dikriana. Selanjutnya ada penembang Lukman Nurdiansyah, Muhammad Rizky dan Ahmad Rijal Nasrullah.
Semua berpadu dalam satu orkestra pamirig yang dikemas oleh Wildan Firdaus, Muhammad Alif Yusup, Hadi Kusumayadi dan M. Rizky Ramdhani dengan latar penari Rafi Taufik. Sungguh menjadi tontonan penuh kualitas dan mampu melahirkan kontemplasi mendalam terhadap peristiwa gempa bumi yang sempat meluluhlantakkan Cianjur tempo hari.
Silaturahmi Antar Generasi
Terpisah, Ketua Yayasan Kebudayaan Lokatmala Indonesia, Wina Rezky Agustina, menjelaskan, pagelaran Mamaos Cianjuran seperti yang ditampikan para penembang lintas generasi ini akan terus dilakukan agar silaturahmi antar penembang lintas generasi semakin kuat.
“Kita berharap Mamaos Cianjuran bisa semakin dikenal luas beradaptasi dengan kemajuan jaman tanpa melupakan akar tradisi yang dimilikinya,” kata Wina di Cianjur, Sabtu (2/12/2023).
Dosen Transformasi Seni dan Budaya Sunda Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Suryakancana itu, mengungkapkan, Mamaos Cianjuran hendaknya mendapat tempat khusus bagi generasi muda dengan tampilan yang lebih inovatif, sehingga bisa dinikmati berbagai kalangan terutama anak muda.
“Kita optimis dengan munculnya penembang generasi muda saat ini akan melahirkan nuansa baru bagi kemajuan seni tradisi Tembang Sunda Cianjuran ini. Kita berterimakasih kepada Bupati Cianjur H. Herman Suherman yang selama ini telah memberikan dukungan bagi pemajuan seni dan budaya termasuk Mamaos Cianjuran di Kabupaten Cianjur,” papar Wina.
Penampilan Mamaos Cianjuran di Gedung DKC dalam rangka refleksi satu tahun bencana gempa bumi Cianjur itu menampilkan 31 praktisi Mamaos Cianjuran pituin atau asli Cianjur, terdiri dari 14 penembang generasi bihari (terdahulu), 10 penembang generasi kiwari (saat ini) dan 7 penembang generasi baring supagi (mendatang) dari kalangan anak-anak dan remaja.
Asep R. Rasyid