WARTAPARAHYANGAN.COM
BANDUNG — Pengamat politik sekaligus Pakar kebijakan publik Universitas Padjadjaran Bandung, Asep Sumaryana mengatakan, masih bertahannya politik dinasti di negara berkembang seperti Indonesia adalah hal yang wajar. Lain dari itu, politik dinasti itu sah-sah saja sebab oleh aturan saat ini tidak dilarang atau melanggar Undang-Undang.
“Dalam sejarah sudah banyak terjadi dan masyarakat menerima,” ujar dia, di Bandung (5/6/2020).
Menurutnya, kekuasaan dinasti saat ini memang sedang tren, banyak diperbincangkan publik di media sosial. Namun, kata dia, hal itu tidak terlepas dari penerimaan masyarakat terhadap isu politik yang akan dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Beberapa yang paling utama, menurutnya adalah ketersediaan alternatif bakal calon baru dan kondisi sosiologis masyarakatnya sendiri.
Menurut Asep, dari segi figur politik dinasti masih bisa bertahan karena adanya keraguan elit politik terhadap bakal calon alternatif. Bakal calon alternatif yang ada kemungkinan masih diragukan bisa melanjutkan dan meningkatkan keberhasilan pembangunan yang sudah berjalan saat ini.
“Di negara berkembang, tentunya elit politik pun masih menginginkan tren positif dalam perkembangan pembangunan untuk terus berlanjut. Apalagi selama ini kemajuan tersebut diperjuangkan dengan susah payah oleh pemimpin-pemimpin sebelumnya .”
Diutarakan Asep, ada tiga kelompok masyarakat secara umum dalam sudut pandang sosial-politik. Yang pertama adalah masyarakat tradisional.
Asep menjelaskan, masyarakat tradisional adalah kelompok yang masih berpikiran bahwa pemimpin terbaik pasti berasal dari trah (Sunda: teureuh) atau keluarga yang sama. Kelompok inilah yang akan dengan mudah menerima politik dinasti.
“Dalam kelompok masyarakat tradisional, mereka selalu menginginkan anak kepala desa lama untuk menjadi kepala desa berikutnya,” tuturnya.
Yang kedua, kata Asep, adalah masyarakat transisional atau berkembang. Kelompok ini merupakan masyarakat yang menginginkan sosok pemimpin baru, tetapi tidak tahu seperti apa sosok yang dibutuhkan untuk membawa kemajuan yang mereka harapkan.
Masyarakat transisional cenderung sudah bosan dengan sosok pemimpin yang itu-itu saja, terlebih jika kemajuan yang ditunjukan terbilang lambat. Namun jika tidak sosok baru yang muncul sesuai harapan, mereka tidak akan mencari serta pilihan akan kembali kepada sosok lama dan keluarganya.
Sementara itu kelompok terakhir adalah masyarakat maju atau modern. Kelompok ini selalu menginginkan perubahan dalam pemerintahan, terurama dalam sisi kebijakan, manajemen publik dan layanan publik.
Masyarakat modern tidak peduli siapapun pemimpin dalam pemerintahan. Soalnya mereka akan selalu menuntut keterlibatan aktif masyarakat dalam mengontrol kebijakan pemerintah.
Kelompok itulah yang jelas akan menolak politik dinasti. Soalnya mereka menilai politik dinasti tidak akan membawa perubahan signifikan dalam kebijakan pemerintah yang diterapkan sebelumnya .
Di Kabupaten Bandung sendiri dirinya mengaku tidak tahu seperti apa kondisi sosiologis masyarakatnya. Namun faktor tingkat pendidikan dan pengaruh tokoh serta ulama bisa dijadikan patokan.
TENTANG DADANG M NASSER
Soal politik dinasti memang selalu mengemuka pada setiap jelang Pilkada di Indonesia, tentu saja termasuk di Pilkada Kabupaten Bandung 2020.
Seperti diketahui, Dadang M Nasser yang saat ini hampir habis periode kedua masa jabatannya, 10 tahun menjabat Bupati Bandung melanjutkan mertuanya Obar Sobarna. Obar yang politisi Partai Golkar itu merupakan bupati pertama yang langsung dipilih oleh rakyat pada Pilkada 2006.
Sukses Obar Sobarna menyerahkan estafet kepemimpinan kepada sang menantu tersebut, agaknya kini juga telah menginspirasi Dadang M Nasser dengan mempersiapkan istrinya yang akrab disapa Teh Nia untuk ‘bertarung’ sekaligus memenangkan kursi bupati Bandung periode 2020-2025.
Dengan posisi selaku Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Bandung selama dua periode (10 tahun), Teh Nia setidaknya telah punya modal sosial yang tinggi di tengah para calon pemilih. Setidaknya itulah yang mungkin terbersit di benak Dadang M Nasser, sehingga ia tak melewatkan elektabilitas istrinya yang tinggi sebagai ajang uji coba untuk tetap bertahan di kekuasaan.
Lily Setiadarma