Oleh: Idat Mustari*)
SAAT membaca rilis berita tentang putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memvonis Tom Lembong—Menteri Perdagangan periode 12 Agustus 2015–27 Juli 2016—selama 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta subsider 6 bulan kurungan, banyak orang terkejut.
Putusan tersebut dijatuhkan meski Tom tidak terbukti menerima keuntungan pribadi dari kebijakan yang diambilnya. Hakim berpendapat bahwa Tom telah memenuhi unsur melakukan tindak pidana yang merugikan keuangan negara, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Sah-sah saja jika kemudian banyak pihak menilai putusan ini tidak adil. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak menikmati keuntungan pribadi sepeser pun atas dugaan kerugian negara harus dipenjara? Anatomi korupsi biasanya diukur dari nilai kerugian negara dalam rupiah—ratusan juta, miliaran, hingga triliunan. Lalu, jika seseorang tidak menerima apa pun dari dugaan kerugian negara, layakkah ia tetap dihukum?
Memang, keuntungan tidak selalu berbentuk uang. Jika seorang pejabat negara menerima sesuatu sebagai imbalan agar pihak pemberi memperoleh keuntungan, maka pantaslah pejabat itu dihukum, bahkan dengan hukuman berat sekalipun. Namun berbeda halnya jika seorang pejabat membuat kebijakan publik yang ternyata di kemudian hari dinilai merugikan negara, tanpa adanya niat jahat (mens rea), tanpa imbalan apa pun, dan tanpa keuntungan pribadi yang diperolehnya. Apakah adil pejabat seperti ini tetap dihukum pidana?
Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor berbunyi: “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).”
Pasal ini kerap menjadi pasal karet sekaligus primadona bagi penuntut umum untuk menjerat siapa saja, termasuk dalam kasus Tom Lembong. Meski tidak menerima keuntungan apa pun dan tidak terbukti memiliki mens rea, perbuatan atau kebijakannya dianggap telah memperkaya pihak lain atau korporasi.
Rasa-rasanya, pasal ini perlu dikaji ulang dan direvisi. Sebab, jika seorang pejabat publik yang beritikad baik, tidak ada niat jahat untuk korupsi, dan tidak menerima keuntungan apa pun dari kebijakan yang diambilnya, lalu tetap dipidana, maka ini adalah sebuah kezaliman hukum. Hukuman seperti ini justru akan membuat pejabat publik menjadi takut untuk mengambil keputusan, yang pada akhirnya akan mematikan inovasi, keberanian, dan tanggung jawab publik.
Rasulullah SAW bersabda: “Hakim itu ada tiga macam, (hanya) satu yang masuk surga, sementara dua (macam) hakim lainnya masuk neraka. Adapun yang masuk surga adalah seorang hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara dengan kebenaran itu. Sementara hakim yang mengetahui kebenaran lalu berbuat zalim dalam memutuskan perkara, maka dia masuk neraka. Dan seorang lagi, hakim yang memutuskan perkara karena ‘buta’ dan bodoh (terhadap hukum), maka ia (juga) masuk neraka.” (HR Abu Dawud)
Hadis ini menjadi pengingat bagi hakim untuk berhati-hati dalam menjatuhkan putusan karena hakim merupakan kepanjangan tangan dari Tuhan, agar keadilan benar-benar ditegakkan dan tidak menjadi sarana menzalimi pihak yang sebenarnya tidak bersalah.
Jika sistem hukum kita tidak mengedepankan rasa keadilan substantif, maka hukum akan kehilangan wibawanya di mata rakyat. Semoga kasus Tom Lembong menjadi refleksi bagi kita semua untuk memperbaiki wajah penegakan hukum, agar hukum benar-benar berpihak pada keadilan, bukan hanya pada teks pasal semata.
Wallahu’alam.
*) Pemerhati sosial, pernah jadi Pengurus KNPI Jabar dan Komisaris di BUMD Kabupaten Bandung.