Banjirnya Madu Impor di Pasaran Mengakibatkan Rendahnya Harga Madu Asli Indonesia

Ketua Umum ILMI, Debby Bustomi, menceritakan media budi daya lebah madu di Kp. Cieter, Desa Mekarwangi, Kecamatan Sindangkerta, Kab. Bandung Barat.

WartaParahyangan.com

BANDUNG BARAT – Madu 505 dan madu impor curah yang di-branding lokal tanpa sumbernya di kemasan, membanjiri bahkan menguasai pasar Indonesia. Hal ini menjadi salah satu penyebab rendahnya harga madu di Indonesia, merugikan para peternak madu.

Hal itu Ketua Umum Inspirator Lebah Madu Indonesia (ILMI) Debby Bustomi, kepada WartaParahyangan.com, Jumat (27/05/2022).

Bustomi mengungkapkan permasalahan kompleks permaduan di Tanah Air, antara lain karena banjirnya madu 505 dan curah hujan di pasaran, dan masyarakat awamnya akan kualitas madu yang mereka konsumsi.

Selain itu, lanjut Bustomi, regulasi peraturan pemerintah tentang madu yang beredar di pasaran masih lemah, antara lain adanya produk turunan dari madu yang kandungan madunya sendiri relatif rendah.

“Regulasi ekspor madu juga sangat rumit. Ini karena dijadikannya standar madu Eropa sebagai acuan bagi seluruh madu di dunia (1 jenis lebah), sedangkan madu Indonesia beragam. Berbagai jenis lebah dan jenis nectar, ada di negara kita,” ujarnya.

Karena itu Bustomi menegaskan perlunya wadah/badan khusus yang menangani perlebahan di Indonesia dan yang mengatur kualitas madu di pasaran.

“Para praktisi, pakar, peneliti, lembaga dan instansi terkait harus duduk bersama untuk mencari solusi atau cara mengatasi masalah madu akibat meledaknya produksi madu di berbagai daerah (swasembada). Padahal jika jeli pemerintah, madu dapat menjadi salah satu penghasil devisa negara,” jelasnya.

Ketua Umum ILMI Debby Bustomi saat menujukan madu lebah yang asli, hasil budi daya lebah milik di Kp. Cieter, Desa Mekarwangi, Kecamatan Sindangkerta, Bandung Barat.

Menurut Bustomi, di Indonesia produk madu oplosan bebas masih dapat mengklaim sebagai madu serta menjualnya sebagai produk madu. Hal ini jelas sangat merugikan produsen madu yang asli.

“Kondisi ini sangat berbeda dengan di luar negeri. Untuk minuman dengan kandungan madu yang rendah, harus dicantumkan sebagai sirup, bukan madu,” ujarnya.

Sedangkan untuk mengekspor madu, lanjut Debby Bustomi, aturan yang ada saat ini dinilai sangat rumit, karena seluruh madu di dunia masih mengacu pada standar madu Eropa dengan 1 jenis lebah. Sementara di Indonesia sendiri ada beragam jenis lebah.

“Hal itu tentunya perlu dan ditinjau ulang. Begitupun pihak pemerintah perlu untuk melobi ke badan perlebahan dunia maupun negara-negara konsumen madu terkait standarisasi madu yang mengacu pada madu Eropa,” harapnya.

Bustomi juga menyatakan bahwa sudah saatnya Indonesia memiliki lembaga khusus yang menangani masalah perlebahan atau madu untuk mengatur dan mengontrol kualitas madu di pasaran. Sebab, ILMI, lembaga yang dapat mengatur harga madu di Indonesia.

Sebagai organisasi, ILMI berperan lebih sebagai relawan dengan misi untuk memajukan perlebahan di Indonesia, serta mengedukasi masyarakat tentang budidaya lebah dan mengetahui kualitas madu, sehingga masyarakat beralih ke madu murni, di samping agar para peternak menjaga kualitas madu dengan mengembalikan madu kepada fitrahnya, pungkas Bustomi.

Lily Setiadarma