Heliana Sinaga Sebut Novel “Cinta, Kopi, dan Kekuasaan: Kesaksian Nyai Apun Gencay” Karya Saep Lukman Menyajikan Sejarah yang Sinematik

WartaParahyangan.com

CIANJUR – Novel “Cinta, Kopi, dan Kekuasaan: Kesaksian Nyai Apun Gencay” karya Saep Lukman mendapat apresiasi dari sutradara teater terkemuka, Heliana Sinaga. Ia menyoroti bagaimana novel ini menghadirkan sejarah dalam balutan fiksi yang hidup dan sinematik.

“Izin ya, mungkin apa yang saya bilang ini bukanlah sejarah, tapi juga fiksi, mungkin fiksi, tapi juga sejarah,” ujar Heliana saat menjadi salah satu pembicara dalam peluncuran novel tersebut di NFEEL Cafe Cianjur, Jumat (14/2/2025) petang.

Ia menekankan bahwa novel ini tidak sekadar mengisahkan masa lalu, tetapi juga membangun karakter dengan kuat, sehingga pembaca dapat dengan mudah memahami setiap tokoh yang hadir.

Heliana Sinaga saat menyampaikan apresiasinya atas novel “Cinta, Kopi, dan Kekuasaan: Kesaksian Nyai Apun Gencay” karya Saep Lukman pada peluncuran novel tersebut di NFEEL Cafe Cianjur, Jumat (14/2/2025) petang.

“Novelnya mungkin kawan-kawan belum baca, tapi ini desainnya bagus ya. Judulnya, Cinta, Kopi, dan Kekuasaan: Kesaksian Nyai Apun Gencay, sebuah judul yang sangat menarik,” kata Heliana sambil mengamati tampilan buku novel tersebut.

Ia juga menyoroti bagaimana karakter dalam novel tersenut dikembangkan oleh penulisnya dengan sangat jelas dan kuat. Salah satu aspek yang menarik dari novel ini, menurut Heliana, adalah kekuatan visual yang dimunculkan dalam narasi.

“Banyak sekali peristiwa-peristiwa yang sinematik ya,” ujarnya. Ia mencontohkan adegan pembukaan lahan yang digambarkan dalam novel, yang menurutnya memiliki nuansa layaknya adegan dalam film. “Menurutku, oh ini kok seperti di film gitu ya. Sehingga kita bisa membayangkan bagaimana sebuah pembukaan lahan menjadi peristiwa yang sangat menarik,” katanya dengan antusias.

Novel “Cinta, Kopi, dan Kekuasaan”, kata Heliana, mengangkat sejarah perempuan dalam konteks sosial dan politik yang berkelindan dengan budaya kopi. “Novel ini juga memiliki narasi yang kuat dengan atmosfer yang menawarkan pengalaman membaca yang imersif, menghadirkan sejarah yang bisa dirasakan dan dibayangkan seolah nyata,” sebut Heliana.

Pada acara yang diinisiasi Yayasan Kebudayaan Lokatmala Indonesia dan dipandu oleh sastrawan dan penulis muda, Faisal Syahreza itu turut hadir jurnalis dan aktivis lingkungan Tosca Santoso, yang dalam pengantarnya menjelaskan bagaimana novel ini menyajikan sudut pandang berbeda tentang sejarah Cianjur.

Menafsir Ulang Sejarah Kopi Cianjur

Selanjutnya dalam diskusi yang dihadiri Kepala Cabang Dinas (KCD) Wilayah VI Provinsi Jawa Barat, Dr. Nonong Winarni, Wakil Ketua DPRD Kabupaten Cianjur, Susilawati, SH., MKP dan Sekretaris Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Cianjur , Dra. Hj. Nenden Nurjanah, M.A.P, serta sejumlah tokoh penting lainnya, Tosca Santoso menyoroti bahwa sejarah kopi di Cianjur selalu diceritakan dengan nada bangga. Padahal dibalik itu ada kisah pahit yang jarang dikemukakan.

“Sejarah kopi selalu merujuk pada kejayaan wilayah Cianjur sebagai salah satu pusat produksi kopi dunia pada abad ke-18. Namun, di balik nostalgia tersebut, ada kisah pahit yang jarang dikemukakan, seperti penderitaan petani Priangan akibat sistem tanam paksa yang diberlakukan Belanda dengan dukungan para penguasa lokal saat itu.

“Petani Priangan yang biasanya berhuma dengan rotasi, dipaksa menetap dan wajib tanam kopi, menelantarkan tanaman kebutuhan mereka sendiri,” ujar Tosca.

“Satu keluarga dijatah tugas 1.000 batang kopi. Hasilnya harus dijual ke Belanda, lewat para bupati, dengan harga yang ditentukan VOC sendiri. Petani yang menolak, menghadapi risiko penjara dan aniaya,” sambungnya.

Kisah Melankolis

Novel ini membawa pembaca ke desa Nyalindung yang terselubung kabut pegunungan, menghadirkan perjalanan hidup Apun Gencay dalam pergulatan cinta, tradisi, dan ketidakadilan sosial. Dengan narasi yang introspektif, Saep Lukman menyulam kisah Apun dengan kelembutan puitis, menjadikan setiap paragraf terasa seperti doa yang mengalun.

Di tengah lanskap kebun kopi yang subur namun menyimpan ketimpangan kekuasaan, Apun menyaksikan bagaimana rakyat kecil seperti ibunya, Ambu, dan para buruh tani harus berjuang melawan kesewenang-wenangan kolonialisme saat itu.

Tokoh Yudira kemudian hadir sebagai elemen perubahan, mewakili generasi muda yang berani melawan ketidakadilan. Namun, perjuangannya tidaklah hitam-putih. Ia dan para tokoh lain digambarkan sebagai manusia dengan kekuatan dan kelemahan, menyadarkan pembaca bahwa perlawanan sejati memerlukan kebijaksanaan, bukan sekadar amarah.

Novel ini tidak hanya memotret sejarah kolonialisme dan kehidupan masyarakat agraris, tetapi juga menjadi refleksi tentang nilai-nilai keberanian, kesetiaan, dan makna kemerdekaan. Dengan gaya naratif yang liris, Saep Lukman berhasil membawa pembaca menyelami lapisan-lapisan emosi yang kaya dan mendalam.

Peluncuran novel ini menjadi momentum penting dalam upaya memahami sejarah kopi dari perspektif rakyat kecil, membuka ruang diskusi tentang bagaimana masa lalu tetap memengaruhi kehidupan petani kopi hingga hari ini.

Acara itu pun menandai awal perjalanan panjang CIANJUR 1834, yang berkomitmen mengangkat sejarah dan budaya Cianjur melalui berbagai kegiatan seni sepanjang tahun 2025.

Asep R. Rasyid

Leave a Reply