Pentingnya Pendidikan Karakter Bagi Generasi Penerus Bangsa

Oleh: Ira Rahmah Apriani, S.Pd

Diera global ini pendidikan karakter semakin penting, bahkan menjadi keniscayaan. Sebab saat ini masih banyak ditemukan perilaku anak sekolah yang kurang baik, seperti tawuran pelajaran, bullying (perundungan) terhadap sesama teman sekolah, melakukan tindak pidana, penyalahgunaan obat-obat terlarang, pergaulan bebas, serta berperilaku tidak sopan atau melawan kepada gurunya sendiri.

Bahkan bukan hanya itu. Keberadaan telepon cerdas (smartphone) dengan kemudahan akses internetnya, juga menjadi tantangan yang tidak ringan dalam upaya membentuk karakter anak yang baik.

Memang harus diakui telepon cerdas sangat besar manfaatnya, seperti semakin memudahkan kita berkomunikasi, semakin mudahnya mendapatkan berbagai informasi yang membuka cakrawala kita tentang berbagai hal yang terjadi di sekeliling kita bahkan dunia, dan semakin mudahnya mendapatkan hiburan yang kita suka.

Bahkan diera digital sekarang ini, telepon cerdas juga dapat dijadikan sarana belajar-mengajar, seperti belajar daring yang dilaksanakan dimasa pandemi Covid-19, yang saat ini masih berlangsung, sekalipun prekwensinya mulai berkurang seiring dengan dibukanya kembali belajar tatap muka terbatas.

Tapi di samping banyak sisi positifnya, telepon cerdas juga memiliki sisi negatif, dan hal ini tidak bisa kita abaikan karena di jaman sekarang, khususnya di perkotaan, banyak anak kecil usia sekolah yang sudah terbiasa menggunakan handphone (HP) canggih atau smartphone. Mereka dengan mudah mengakses internet, dan membuka berbagai situs, bahkan tidak mustahil mereka juga membuka situs-situs dewasa, atau bermain game, dan semacamnya.

Kita tentu sering melihat anak-anak, bahkan mungkin putra-putri kita sendiri, asyik bermain game di HP-nya sampai lupa waktu, lupa pekerjaan rumah, bahkan enggan bermain dengan teman sebayanya. Kalaupun ada anak-anak sedang berkumpul bersama sesamanya, itu juga sedang bermain game bersama.

Kalau dibiarkan tanpa kendali, anak-anak dengan kebiasaan seperti itu akan menjadi anak a-sosial, atau lebih parahnya akan menjadi individualistis dan kurang memiliki rasa empati kepada orang lain, bahkan dalam kondisi tertentu akan melahirkan sikap intoleran.

Itulah beberapa kondisi di era global ini, yang membuat kita mau tidak mau harus mengimplementasikan pendidikan karakter. Apalagi pemerintah sendiri telah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan menerbitkan Permendikbud Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penguatan Pendidikan Karakter pada Satuan Pendidikan Formal.

Pada Pasal 1 ayat 1 Permendikbud itu disebutkan bahwa Penguatan Pendidikan Karakter adalah gerakan pendidikan di bawah tanggung jawab satuan pendidikan untuk memperkuat karakter peserta didik melalui harmonisasi olah hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga dengan pelibatan dan kerja sama antara satuan pendidikan, keluarga, dan masyarakat sebagai bagian dari Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM).

Selanjutnya pada Pasal 2 disebutkan bahwa Penguatan Pendidikan Karakter dilaksanakan dengan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam pendidikan karakter terutama meliputi nilai-nilai religius, jujur, toleran, disiplin, bekerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan bertanggung jawab.

Lalu bagaimana pengimplementasiannya, khususnya di sekolah? Banyak pembelajaran sederhana yang mengarah pada pendidikan karakter yang bisa dilakukan seorang guru di sekolah. Misalnya untuk membentuk karakter siswa yang religius, guru bisa memulainya dengan pembiasaan berdoa atau membaca surah-surah pendek dari Al-Qur’an sebelum kegiatan belajar mengajar (KBM) dimulai. Kegiatan seperti itu di beberapa sekolah memang sudah diterapkan.

Kemudian untuk membentuk karakter siswa yang jujur, guru atau lebih tepatnya kepala sekolah, bisa memulainya dengan mendirikan kantin kejujuran. Kantin ini tanpa orang yang menunggui atau melayani pembelinya. Siswa membeli makanan di kantin itu cukup dengan menyimpan uangnya sesuai harga makanannya di kotak yang telah disediakan. Cara ini mengajarkan siswa untuk berperilaku jujur.

Selama ini pun sebetulnya sudah banyak contoh kegiatan anak di sekolah yang mengandung nilai-nilai pendidikan karakter. Seperti karakter disiplin, yang tersirat dalam tata terbit sekolah yang memang harus dipatuhi semua siswa. Atau karakter mandiri, yang tersirat dalam larangan menyontek saat mengerjakan soal-soal ulangan/ujian. Atau karakter demokratis, tersirat dalam pemilihan ketua kelas.

Yang diperlukan adalah penguatannya melalu intensitas dan keragaman kegiatan yang mengandung pengembangan karakter siswa, dan itu bisa dilakukan melalui pembelajaran di semua mata pelajaran yang diajarkan di sekolah.

Karena itu, dalam pendidikan karakter, guru memegang peranan penting. Seperti dikatakan Mendikbud Muhadjir Effendy dalam Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2017, bahwa kunci kesuksesan pendidikan karakter terletak pada peran guru. Sebagaimana ajaran Ki Hajar Dewantara, “ing ngarso sung tuladho, ing madyo mbangun karso, tut wuri handayani”, maka seorang guru idealnya memiliki kedekatan dengan anak didiknya.

Guru, kata Mendikbud waktu itu, hendaknya dapat melekat dengan anak didiknya sehingga dapat mengetahui perkembangan anak didiknya, dan hal itu tidak hanya dalam dimensi intelektualitas, namun juga dalam kepribadian setiap anak didiknya.

Tidak hanya itu, dan tidak hanya di sekolah proses pendidikan karakter berlangsung. Di lingkungan keluarga dan masyarakat pun, terjadi proses pengembangan karakter anak, sehingga untuk mencapai hasil optimal, pendidikan karakter sangat membutuhkan dukungan orang tua dan masyarakat. Karena memang di Indonesia dikenal tripusat pendidikan, yakni sekolah, orang tua siswa dan masyarakat.

Bila kemitraan tripusat pendidikan tersebut berjalan seiring dan saling mengisi, niscaya apa yang kita inginkan bisa terwujud, yakni terbentuknya generasi bangsa yang bermartabat, religius, bermoral, berakhlak mulia, toleran, dan tangguh dalam menghadapi tantangan diera global.***