WARTAPATAHYANGAN.COM
BANDUNG — Bawaslu Kabupaten Bandung mengingatkan KPU agar lebih ketat lagi dalam melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap jajaran di bawahnya. Pasalnya, Bawaslu mengaku masih menemukan adanya anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) yang melakukan tindakan tidak sesuai dengan prinsip independensi seorang penyelenggara pemilu.
Berdasarkan informasi, Bawaslu tengah mendalami laporan adanya ketua PPK di salah satu kecamatan di wilayah Selatan Kabupaten Bandung yang memberikan respon suka (likes) di media sosial Facebook terhadap kegiatan yang dilakukan oleh seorang bakal calon Bupati Bandung.
Koordinator Divisi Pengawasan dan Hubungan Antarlembaga Bawaslu Kabupaten Bandung Hedi Ardia menjelaskan, sekalipun belum ada penetapan pasangan calon seharusnya prinsip independensi atau tidak memihak salah satu bakal calon sudah harus dilakukan oleh semua penyelenggara pemilu. Pasalnya, azas tersebut berlaku semenjak diambil sumpah.
Selain itu, pasal 10 huruf f kode etik penyelenggara pemilu menyebutkan, tidak memakai, membawa, atau mengenakan simbol, lambang atau atribut yang secara jelas menunjukkan sikap partisan pada partai politik atau peserta Pemilu tertentu.
“Tindakan ngelike di medsos itu bagian simbol sikap partisan. Saat yang bersangkutan masih menjadi bakal calon saja sudah menunjukkan gelagat tidak baik, apalagi sudah ditetapkan calon. Maka, prilaku kurang baik penyelenggara pemilu itu harus diambil tindakan lebih tegas oleh KPU Kabupaten Bandung sebagai penanggung jawabnya,” katanya, saat dihubungi wartawan, Selasa (28/7/20).
Hedi mengaku gemas melihat prilaku oknum penyelenggara pemilu yang tidak bisa menempatkan dirinya sebagai penyelenggara pemilu yang proporsional, profesional, imparsialitas dan adil terhadap semua bakal calon. Hedi mengkhawatirkan apabila kondisi ini terus dibiarkan akan menggerus kepercayaan publik terhadap profesionalisme penyelenggara pemilu.
Pasalnya, kasus yang sama pun sempat terjadi sebelumnya meski KPU hanya memberikan peringatan tertulis kepada oknum tersebut. Idealnya, prinsip-prinsip penyelenggara pemilu itu bisa diresapi dan diamalkan dengan baik bahkan menjadi panduan bagi para penyelenggara pemilu baik yang permanen maupun adhock.
“Dengan adanya dua kasus pelanggaran prinsip netralitas penyelenggara pemilu adhock di jajaran KPU harusnya menjadi alarm keras terjadinya preseden buruk sebelum penetapan calon. Ketika bakal calon tersebut sudah ditetapkan, maka bisa dipastikan yang bersangkutan memiliki keberpihakan terhadap calon tersebut. Kalau sudah begitu, profesionalisme penyelenggara pemilu dimana,” ujarnya.
Hedi berharap kali ini KPU lebih serius lagi dalam melakukan pembinaan terhadap jajaran adhocknya agar kasus serupa tidak kembali terulang sehingga merusak kepercayaan masyarakat dan peserta Pilkada yang pada akhirnya merusak legitimasi terhadap hasil pemilihan kepala daerah yang telah menguras APBD yang tak sedikit.
Disinggung mengenai perkembangan tahapan pencocokan dan penelitian (Coklit) daftar pemilih, Hedi mengungkapkan, saat ini pengawasan terhadap masih terus berlangsung. Sekalipun Bawaslu tidak diberikan akses dokumen AKWK (daftar pemilih hasil konsolidasi DP4 dan DPT Pemilu terakhir), pihaknya masih mendapatkan sejumlah temuan di lapangan.
“Memang ini menjadi tantangan bagi Bawaslu saat ini kami untuk pertama kalinya tidak diberikan akses AKWK. Nanti, setelah tahapan coklit ini selesai, kami akan sampaikan ke publik apa hasil pengawasan kami,” ucapnya.
Hanya untuk sementara waktu ini, yang bisa disampaikan publik diantaranya adalah masih adanya praktik penjokian terhadap coklit. Artinya, mereka yang melakukan coklit bukan petugas PPDP yang sesuai dengan SK, tapi orang lain. Sehingga dimungkinkan, validitas data hasil pencoklitannya dimungkinkan kurang maksimal.
“Sejauh ini kami menemukan kasus joki coklit ini terjadi di empat kecamatan. Oleh petugas kami yang ada di kecamatan sudah dilakukan tindakan sebagai mana mestinya penanganan pelanggaran administratif,” paparnya.
Lee