WartaParahyangan.com
BANDUNG – Warga Desa Rawabogo, Kecamatan Ciwidey, mendesak Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Bandung segera menyelesaikan proses sertifikat tanah melalui program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL). Mereka mempertanyakan keterlambatan distribusi dan mencurigai adanya pungutan liar (pungli) dalam proses tersebut.
Sejak program dimulai pada 2019, ribuan warga mendaftarkan bidang tanahnya untuk disertifikasi. Namun hingga pertengahan 2025, ratusan sertifikat belum dibagikan. Hal ini menimbulkan keresahan di tengah masyarakat. Beberapa warga bahkan mengaku diminta membayar sejumlah uang agar proses dipercepat.
Kepala Desa Rawabogo, Cecep NA Prawira, menyampaikan bahwa pemerintah desa tidak pernah menerima laporan resmi dari BPN terkait jumlah sertifikat yang telah terbit. Ia juga menyayangkan distribusi yang dilakukan melalui individu tertentu, bukan melalui pemerintah desa.
“Sertifikat dibagikan melalui seorang bernama Dudi Herdiansah. Padahal, seharusnya BPN menyerahkannya ke kantor desa,” ujar Cecep, Rabu (6/8/2025).
Menurutnya, pola distribusi tersebut memicu kecurigaan. Ia menegaskan bahwa pihak desa tidak ingin terlibat dalam praktik-praktik yang menyalahi prosedur. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa sebagian warga merasa terintimidasi ketika meminta kejelasan.
Cecep menambahkan, panitia pelaksana PTSL sebelumnya tidak aktif lagi sejak 2020. Namun, BPN tetap menggunakan jalur komunikasi lama. Ia meminta agar seluruh sisa sertifikat disalurkan melalui pemerintah desa agar proses lebih transparan dan terkontrol.
Warga lainnya juga mengungkapkan hal serupa. Beberapa dari mereka mengaku harus membayar antara Rp500 ribu hingga Rp2 juta. Mereka tidak mengetahui dasar pungutan tersebut karena sosialisasi dari pihak panitia maupun BPN sangat minim.
Situasi ini mendorong perhatian publik. Media mencoba meminta konfirmasi dari Kepala Kantor BPN Kabupaten Bandung, Iim Rohiman. Namun, ia justru menyarankan wartawan untuk menghubungi Kabag Tata Usaha, Ny. Ita Latifah, Rabu (6/8/2025).
Dalam percakapan via telepon, Ita Latifah menyampaikan bahwa dari total 3.100 bidang yang diusulkan, hanya tersisa 238 bidang yang belum diserahkan. Menurutnya, penyerahan tertunda karena belum adanya dokumen pelengkap dari pihak desa.
“Kami masih menunggu proses pewarkahan dari desa. Jika dokumen lengkap, kami bisa serahkan segera,” ucap Ita.
Namun pernyataan ini bertentangan dengan keterangan Kepala Desa Rawabogo. Cecep menilai, BPN tidak pernah meminta dokumen tersebut secara resmi sejak 2021. Ia juga menemukan kejanggalan dalam data penyerahan. Salah satu warga yang baru mendaftar pada 2023 ternyata telah tercatat sebagai peserta program 2019.
“Saya mencurigai ada manipulasi. Tandatangan saya dipalsukan di formulir itu,” jelas Cecep. Ia menyampaikan laporan ke bagian Harda BPN, tetapi belum menerima tanggapan pasti.
Ketua Fraksi PAN DPRD Kabupaten Bandung, H. Eep Jamaludin Sukmana, SH, ikut menyuarakan keprihatinannya. Ia meminta BPN bersikap terbuka dan menindaklanjuti persoalan ini secara serius.

“Program PTSL penting, tapi implementasinya harus bersih. Jika ada pungli, pelakunya harus ditindak. BPN tidak boleh menutup-nutupi,” tegas Eep.
Ia juga meminta Dinas Agraria dan Tata Ruang Kabupaten Bandung melakukan evaluasi menyeluruh. Ia mengingatkan, jika konflik ini terus dibiarkan, kepercayaan publik terhadap program nasional akan melemah.
Eep pun mengimbau warga agar menyimpan bukti pembayaran atau surat permohonan. Hal ini penting untuk mendorong proses hukum apabila terbukti terjadi pelanggaran.
Dari sisi prosedur, BPN seharusnya bekerja sama erat dengan pemerintah desa. Proses penyampaian informasi dan pembagian sertifikat harus melibatkan kepala desa secara langsung. Dengan begitu, peluang penyimpangan bisa diminimalkan.
Hingga kini, belum ada klarifikasi resmi dari Kantor Pertanahan Kabupaten Bandung. Publik berharap BPN tidak menghindar dan segera menyelesaikan konflik secara adil.
Masyarakat Desa Rawabogo menunggu tindakan nyata. Mereka ingin kejelasan, bukan janji. Pemerintah wajib memastikan hak rakyat atas tanah dijamin dan dilindungi, bukan malah diseret dalam ketidakpastian.
Lily Setiadarma