Budi Setiawan, Petani Salada Bokor Hidroponik yang Sukses

WartaParahyangan.com

SUKABUMI – Budi Setiawan, warga Kampung Cihaur, Desa/Kecamatan Cicantayan, Kabupaten Sukabumi ini bisa dikatakan sebagai petani yang berhasil dan sukses.

Bagaimana tidak, Budi yang kesehariannya berprofesi sebagai guru merangkap sebagai Wakil Kepala SMA Islam Ulul Albaab Cicantayan ini bisa meraup penghasilan rata-rata Rp5 juta perbulan dari hasil jualan sayuran atau lalab-lalaban yang ditanam dengan pola hidroponik.

Menurut Budi, tanaman hidroponik adalah budidaya tanaman tanpa tanah. Jadi hidropnik berarti budidaya tanaman yang memanfaatkan air dan tanpa menggunakan tanah sebagai media. Dengan memenuhi kebutuhan nutrisi (unsur hara) setiap tanaman dapat tumbuh dengan baik walaupun tidak menggunakan media tanah.

“Tanaman hidroponik tidak menggunakan tanah, sehingga media tanam menjadi hal yang penting untuk diperhatikan dalam proses penanaman, karena sangat berbeda dengan budidaya secara konvensional. Media tanam ini berguna untuk menjaga tanaman agar dapat berdiri tegak. Penggunaan media tanam sangat berpengaruh pada hasil yang ditanam,” jelas Budi.

“Media tanam harus mampu menyerap dan menyimpan air dengan baik, sehingga tanaman mendapatkan cukup nutrisi selama ditanam. Media tanam juga harus bebas hama dan tidak mudah kering di suhu yang berbeda,” sambungnya.

Saat ini, tanaman hidroponik milik Budi berjejer di halaman rumahnya dengan ukuran 8 x 7 meter yang berjejer 8 kerangka dari baja ringan untuk penyangga paralon tempat tanam dengan jumlah lobang tanam sebanyak 3.000 lobang untuk tanam salada bokor dan saledri.

Dua jenis tanaman tersebut, jelas Budi, usia tanamnya sampai panen mencapai 40 hari yang bisa menghasilkan salada atau saledri sebanyak 220 – 250 kg setiap panen. Namun Budi lebih memilih panennya setiap hari yang rata-rata dipanen sebanyak 8 – 10 kg.

“Jadi pola tanam dan panen yang dilakukan adalah setiap hari. Misalnya setiap dipanen untuk 10 kg diambil dari 100 lobang tanam, kemudian hari itu juga kita tanam kembali benihnya untuk dipanen 40 hari kemudian, dan seterusnya secara rotasi,“ kata Budi seraya menambahkan bahwa kalau panen sekaligus terlalu banyak resiko busuk dan diterima di pasaran bisa murah.

Saat ini Budi mensuplai hasil panennya secara rutin ke beberapa rumah makan terdekat sekitar Cisaat dan Sukabumi. Atau kadang ada yang menjemputnya dari pihak rumah makan. Harga jual di tempat rata-rata Rp25.000/kg.

“Saat ini kita rutin memanen paling banyak 10 kg untuk 6 rumah makan,” pungkasnya.

Ujang S. Chandra