Di Hadapan Pengurus MUI Kecamatan se-Kabupaten Bandung, Kang Ace Pastikan Dana Haji Aman

Wakil Ketua Komisi VIII DPR Tubagus Ace Hasan Syadzily saat menjadi pembicara dalam Sosialisasi Keuangan Haji BPKH di Hotel Sutan Raja, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Rabu (10/1/2024).

WartaParahyangan.com

BANDUNG – Wakil Ketua Komisi VIII DPR Tubagus Ace Hasan Syadzily memastikan dana haji yang dikelola Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), aman. Dana tersebut dikelola dan dimanfaatkan untuk kepentingan jamaah haji.

Penegasan itu disampaikan Kang Ace, sapaan akrab Tubagus Ace Hasan Syadzily, saat menjadi pembicara dalam Sosialisasi Keuangan Haji BPKH di Hotel Sutan Raja, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, Rabu (10/1/2024). Acara itu diikuti 120 pengurus MUI kecamatan se-Kabupaten Bandung.

Hadir dalam kegiatan itu, anggota Badan Pelaksana BPKH Sulistyowati, Ketua MUI Kabupaten Bandung KH Yayan Hasuna Hudaya, Ketua Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) Kabupaten Bandung, dan Ketua DPRD Kabupaten Bandung Sugianto.

Kang Ace mengatakan, diera derasnya arus informasi saat ini, jika tidak dibekali informasi benar, akan sulit menjelaskan ke masyarakat. Misalnya, muncul informasi di media sosial (medsos), uang haji digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur.

“Saya sengaja datang ke acara ini, membagi waktu saya untuk menjelaskan peran penting Komisi VIII DPR dalam pengelolaan keuangan haji dan proses pengambilan kebijakan terkait biaya haji, sekaligus posisi dana haji aman atau tidak. Diinvestasikan di mana, ditempatkan di mana, dan bagaimana proses kerja dari legislatif. Itu penting untuk diketahui,” kata Kang Ace.

Kang Ace menjelaskan tentang peran penting DPR dalam urusan haji. Peran Komisi VIII DPR dalam proses haji ada tiga. Pertama, DPR membuat undang-undang, termasuk Undang-Undang Haji. Semua pelaksanaan haji harus tunduk kepada undang-undang. Tidak ada kebijakan tanpa payung hukum.

Kedua, peran DPR adalah menyusun penganggaran biaya dan keuangan haji. Pemerintah tidak bisa membuat keputusan sendiri karena setiap yang dilakukan pemerintah, baik Kementerian Agama (Kemenag) maupun Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) harus atas persetujuan Komisi VIII DPR.

“Kalau Komisi VIII DPR tidak ngerti tentang haji, soal biaya haji, jangan berharap kualitas haji akan lebih baik,” ujar Kang Ace.

Ketiga, lanjut dia, peran DPR adalah melakukan pengawasan penyelenggaraan ibadah haji. “Enaknya di Komisi VIII DPR itu, salah satunya adalah bisa naik haji setiap tahun. Makanya saya sering disebut haji abubabakar (haji atas budi baik Golkar). Kenapa Golkar, karena saya menjadi pimpinan di Komisi VIII DPR karena ditugaskan oleh Partai Golkar,” tutur Ketua DPD Partai Golkar Jabar ini.

Regulasi haji, kata Kang Ace, pada 2008, Indonesia memiliki UU Haji. Saat itu belum ada waiting list atau daftar tunggu. Karena itu, pada 2019, Komisi VIII DPR merevisi UU Haji tahun 2008 menjadi UU Nomor 8 Tahun 2019.

Dalam UU Nomor 8 Tahun 2019 diatur tentang pelimpahan kursi daftar tunggu. Sebab waiting list menimbulkan masalah hukum. Kang Ace mencontohkan, calon jamaah haji yang telah lama menunggu tiba-tiba meninggal. Berdasarkan undang-undang, nomor kursi harus diberikan kepada ahli waris, istri atau anak. Ahli waris tidak harus menunggu lagi dari awal. Dia tinggal meneruskan daftar tunggu calon haji yang meninggal.

Sejak 2014, tutur Kang Ace, Komisi VIII DPR mengusung tentang pemisahan antara keuangan haji dan penyelenggaraan haji. Pada tahun itu pula dibentuk lembaga BPKH yang secara khusus mengelola keuangan haji. Jadi sejak saat itu, keuangan haji bukan dikelola oleh Kementerian Agama (Kemenag) melainkan BPKH. Dasar hukum BPKH adalah UU Nomor 34 Tahun 2014.

Sejak terbit UU Nomor 8 Tahun 2019 tidak ada lagi istilah Ongkos Naik Haji (ONH). Istilah itu diubah menjadi Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) yang terdiri atas dua komponen, yaitu pertama, Biaya Perjalanan Ibadah Haji (Bipih) yang dibayar jamaah haji, dan kedua, nilai manfaat. Nilai manfaat ini berasal dari dana haji yang dikelola oleh BPKH.

“Sebenarnya, sejak 2012, setiap jamaah haji tidak pernah membayar setoran murni. Selalu ada dana kalau dulu namanya indirect cash,” ucap Kang Ace.

Selanjutnya, ujar Kang Ace, Komisi VIII DPR juga berperan dalam pembagian kuota haji menjadi dua komponen. Pertama yang diselenggarakan pemerintah. Kedua, yang diselenggarakan oleh Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK). Persentase kuota haji reguler oleh pemerintah 92 persen, sedangkan 8 persen oleh PIHK.

Pembagian kuota ini, ujar Kang Ace, demi kepentingan umat. Sebab, banyak orang yang menunggu puluhan tahun untuk berangkat haji. Maka, persentase terbesar 92 persen untuk haji reguler. Di dalam UU Haji tegas, haji reguler 92 persen dan haji khusus 8 persen.

Dalam UU Haji 2019, diatur pula pelayanan khusus bagi jemaah disabilitas dan lanjut usia (lansia). Kemudian, haji furoda, secara regulasi telah dipayungi oleh undang-undang. Namun dalam pelaksanaannya, tidak bisa dikendalikan juga oleh pemerintah. Biaya haji furoda bisa mencapai Rp300 juta hingga Rp1 miliar.

“Kita tidak bisa mengatur haji furoda karena itu otoritas pemerintah Kerajaan Arab Saudi. Masyarakat menyebut haji furoda ini, haji undangan,” tuturnya.

Kang Ace mengatakan, UU Haji 2019 juga memberikan kepastian kepada KBIHU yang memiliki jamaah di bawah 135 orang mendapatkan slot satu kursi bagi pembimbing.

Tekan Biaya Haji

Wakil rakyat dari Daerah Pemilihan (Dapil) Jabar 2 (Kabupaten Bandung-Bandung Barat) ini, mengatakan, dalam penentuan biaya haji, Komisi VIII DPR berperan penting dalam menentukan besarannya. Pada akhir 2023 lalu, Komisi VIII DPR membahas secara serius biaya haji untuk 2024. Hari ini sudah keluar keputusan presiden (kepres) terkait besaran biaya haji 2024.

Biasanya, kata Kang Ace, kepres itu baru keluar pada Maret atau April. Tapi kini, Januari 2024 sudah terbit karena DPR telah lebih dulu mengeluarkan keputusan politik terkait biaya haji. Awalnya, pemerintah mengajukan biaya haji 2024 sebesar Rp105 juta per jamaah. Tetapi oleh Komisi VIII DPR dibahas agar besaran biaya haji dapat ditekan.

Menurut Kang Ace, yang paling besar dari komponen biaya haji adalah penerbangan. Pemerintah mengusulkan Rp36 juta per jamaah. Oleh Komisi VIII DPR ditelisik, tahun lalu biaya penerbangan hanya Rp32 juta. Akhirnya, biaya penerbangan haji 2024 hanya Rp33,6 juta.

“Biaya penerbangan bisa turun setelah Komisi VIII DPR memanggil maskapai penerbangan, otoritas penerbangan, dan stakeholder,” kata Kang Ace.

Setelah itu, ujar Kang Ace, pembahasan biaya haji belum selesai. Sebab, semula pemerintah mengusulkan persentase pembagian porsi biaya yang dibayar jamaah dengan nilai manfaat 70 persen dan 30 persen nilai manfaat. Komisi VIII DPR menolak usulan itu. Akhirnya disepakati, 60 persen dibayar jamaah dan 40 persen nilai manfaat.

“Pada 2024 ini, jamaah haji Jawa Barat akan berangkat dari Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati. Jawa Barat adalah satu-satunya provinsi yang memiliki dua embarkasi dan asrama haji. Pertama di Bekasi dan kedua Indramayu. Tahun ini, jamaah haji Kabupaten Bandung berangkat haji melalui BIJB Kertajati,” ujarnya.

Kang Ace menuturkan, kerap beredar disinformasi di masyarakat tentang biaya haji di Indonesia mahal.

Berdasarkan data, tutur Kang Ace, biaya haji 2018 Indonesia Rp33 juta, Malaysia Rp38 juta, Singapura Rp80 juta, Brunei Rp135 juta. Pada 2019, Indonesia Rp35,2 juta, Singapura Rp71 juta, Malaysia Rp39 juta. Pada 2022, Indonesia Rp39,8 juta, Malaysia Rp45,6 juta, Singapura Rp98 juta, Brunei Rp170 juta.

Sedangkan kuota haji Indonesia pada 2024 sebanyak 241.000 jamaah. Ini kuota haji terbesar sepanjang sejarah. Malaysia hanya 28.000 jamaah. Karena hitungan kuota haji, dari 1.000 muslim dapat 1 kuota. Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia.

“Dari 241.000, kuota haji khusus 19.000. Sedangkan Kabupaten Bandung dapat kuota 3.000 jamaah. Di antara ratusan ribu jamaah haji itu, puluhan ribu di antaranya lanjut usia. Karena itu, perlu dilakukan skrining kesehatan terlebih dulu. Ini penting dilakukan,” tutur Kang Ace.

Dalam kesempatan itu, Kang Ace juga membeberkan tentang pelayanan haji saat ini. Jika dibanding pada 1995, pelayanan haji saat ini telah lebih baik. Pada 1995, masing-masing jamaah membawa bekal makanan. Sebab saat itu, jamaah tidak diberi makan.

Kini, jamaah diberi 27 kali makan di Madinah, 66 kali makan di Makkah, 15 kali di Arafah, Muzdalifah, dan Mina (Armina). Selain itu, disepakati pula, makanan yang disediakan untuk jamaah berselera Nusantara.

Pada 1995, parra jamaah haji menginap di penginapan kurang layak karena kamar berukuran 30 X 30 meter persegi diisi oleh 32 jamaah. Sekarang, jamaah menginap di hotel bintang 3. Satu kamar diisi maksimal 5 orang.

“Kalau lebih dari itu, lapor ke DPR, akan dicoret hotelnya. Ini semua berkat perjuangan politik yang disepakati antara DPR dan pemerintah,” ucapnya.

Dari sisi daftar tunggu haji di Indonesia saat ini cukup panjang. Provinsi Aceh selama 34 tahun, Kalimantan Selatan 38 tahun, Jawa Barat 20-25 tahun. Kabupaten Bandung 22 tahun. Jawa Timur 35 tahun, Sulawesi Selatan 34 tahun.

Tapi ada kabupaten di Sulsel, yaitu Bantaeng, daftar tunggunya selama 45 tahun. “Tapi ini masih mending dibanding Malaysia yang mencapai 150 tahun,” kata Kang Ace.

Asep R. Rasyid