Orang Tua Siswa SD Terbebani Buku Pelajaran Kurikulum Merdeka yang Harganya Mencapai Rp850 Ribu

Ilustrasi sejumlah siswa sekolah sedang belajar di kelasnya di salah satu SD di Kabupaten Bandung. Foto dok. Lily Setiadarma

WartaParahyangan.com

BANDUNG – Sejumlah orang tua siswa kelas 4 di salah satu SDN di Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, mengeluhkan terbatasnya jumlah buku pelajaran Kurikulum Merdeka yang disediakan pihak sekolah, sehingga para orang tua harus membeli buku tersebut di toko di luar sekolah yang harganya mencapai Rp850 ribu untuk 9 buku pelajaran.

“Di sekolah anak saya, siswa kelas 4 itu berjumlah sekitar 40 orang, tapi pihak sekolah hanya menyediakan 10 buku pelajaran. Guru pun menyarankan agar siswa membeli sendiri buku pelajaran di luar yang disediakan sekolah,” kata salah seorang orang tua siswa kelas 4 SDN di Soreang yang tak mau disebutkan namanya kepada wartawan, Senin (31/7/ 2023).

Lantaran tak mau anaknya tertinggal pelajaran, ia pun terpaksa membeli buku pelajaran di luar sekolah. Namun karena tak memiliki cukup uang, baru sebagian dari sembilan buku pelajaran yang ia beli untuk anaknya itu.

“Untuk membeli sembilan buku pelajaran yang isinya berdasarkan Kurikulum Merdeka itu, diperlukan uang sekitar Rp850 ribu. Bagi saya, yang hanya seorang single parent tanpa penghasilan yang tetap, uang sebesar itu tentu sangat besar dan sulit untuk didapat,” katanya.

Memang, katanya lagi, guru tidak memaksa harus beli, namun menyarankan agar anak didik punya buku masing-masing. “Belinya juga bebas boleh dimana saja, katanya, cuma yah berat sekali buat orang seperti saya yang tidak punya penghasilan tetap harus beli buku Rp850 ribu untuk sembilan mata pelajaran,” ujar orang tua siswa tersebut.

Hal yang sama disampaikan orang tua siswa kelas 4 lainnya, yang terpaksa merogoh kocek hingga Rp850 ribu untuk membeli sembilan buku mata pelajaran kelas 4, karena tak ingin anaknya tertinggal.

“Yah saya mikirnya anak kita enggak akan efektif belajarnya. Masa cuma disediakan 10 paket buku saja untuk siswa sebanyak itu? Daripada anak saya belajarnya enggak maksimal, yah sudah beli di luar bukunya. Kalau punya sendiri kan bisa dibawa dan dipelajari di rumah, kalau yang dari sekolah kan enggak boleh dibawa pulang,” ujarnya.

Pantauan wartawan di lapangan memang masih banyak SDN yang belum menyediakan buku paket pelajaran Kurikulum Merdeka sesuai dengan jumlah siswa di setiap kelasnya. Bahkan beberapa siswa SD mengaku tidak mengetahui adanya buku paket Kurikulum Merdeka.

Akibatnya muncul kesan sejumlah SDN di Kecamatan Soreang dan kecamatan-kecamatan lain di Kabupaten Bandung, memaksakan diri menerapkan Kurikulum Merdeka, padahal mereka sebetulnya belum siap.

Sementara itu, Kepala Seksi Bimbingan dan Pengembangan Sekolah Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Bandung, H. Amien Meriatna, kepada wartawan, Senin (31/7/2023), menjelaskan pengadaan semua kebutuhan sekolah itu berdasarkan kepada Rencana Anggaran dan Kegiatan Sekolah (RAKS), termasuk pengadaan buku pelajaran.

“Bisa saja pengadaan buku pelajaran itu sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam RAKS. Tapi kalau misalnya dalam RAKS itu dicantumkannya pembelian buku sesuai dengan jumlah siswa yang ada, tapi kenyataannya direalisasikan hanya 10 paket, itu tentu menjadi temuan dan pasti kami akan memberikan sanksi tegas kepala sekolah bersangkutan,” kata Amien.

Menurut Amien, RAKS ini disusun dan dipergunakan sepenuhnya oleh sekolah. Pihak Dinas Pendidikan sama sekali tidak mengetahui atau tidak dilibatkan dalam penggunaannya. Namun memang, ada fungsi pengawasan yang dilakukan Dinas Pendidikan, yakni monitoring dan evaluasi (monev) penggunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

“Pada saat monev itu dilihat apakah penggunaan anggarannya ini sudah sesuai dengan RAKS atau tidak. Kemudian, apakah rincian belanjanya sesuai atau tidak dengan yang dicantumkan dalam RAKS. Nah, belanja sekolah ini tidak boleh gegabah, misalnya jumlahnya dikurangi atau sama sekali tidak dilaksanakan,” jelas Amien.

Terkait keresahan para orang tua siswa SDN di Kecamatan Soreang, Amien meminta pihak sekolah agar dapat lebih bijaksana dan mengerti kemampuan ekonomi para orang tua siswanya. Bahkan seharusnya kebutuhan belanja sekolah yang dicantumkan dalam RAKS ini pun disampaikan kepada para orang tua siswa, sehingga jika ada kebutuhan yang tidak teranggarkan dalam RAKS, para orang tua siswa dapat memahaminya.

“Silakan saja para orang tua siswa ini ngobrol dengan kepala sekolah, misalnya ada saran atau keberatan. Intinya, sama-sama cari jalan keluar lah,” katanya.

Lily Setiadarma