WartaParahyangan.com
CIANJUR – Disaksikan sekitar seribuan penonton yang hadir dalam acara Festival Kopi Cianjur, di Alun-Alun Cianjur, Sabtu (30/7/2022) malam, pentas “Bisik Sunyi Apun” membuat seluruh pasangan mata terbawa ritme dramatik sejarah Cianjur lampau, saat kisah Apun Gencay terjadi.
Koreografer yang sekaligus penari, Wina Rezky Agustina, dari Lokatmala Foundation malam itu berhasil menerjemahkan kisah Apun Gencay yang sarat dengan unsur erotis dengan latar belakang kegusaran petani kopi di masa kolonial.
Apun Gencay yang disajikan dalam sebuah pertunjukan kekinian cukup mampu mengheningkan kebisingan yang pernah terjadi dalam alur sejarah Cianjur yang disembunyikan.
“Tidak semua harus dibunyikan, jika sunyi lebih baik, dari kopi seluruh bisik berarti,” begitu penggalan kisah yang sepertinya diangkat oleh Wina melalui pertunjukan tari kontemporernya sebagaimana tertara dalam poster yang menghiasi undangan gratis di media sosial.
Kegiatan cukup unik yang merupakan rangkaian peringatan Hari Jadi Cianjur ke-345 yang diinisiasi para ‘pejuang’, pengusaha serta pramuseduh kopi Cianjur tersebut cukup mampu menyedot publik Cianjur berbondong datang ke Alun-Alun setempat malam itu.
Beberapa tampilan band lokal juga membuat suasana Festival Kopi Cianjur yang baru kali pertama digelar ini makin seru.
“Kami sekedar mencoba menerjemahkan kisah Apun Gencay ke dalam sebuah pertunjukan sederhana. Kisah Apun yang penuh dramatik dalam situasi amuk petani kopi di jaman kolonial memang layak untuk dikisahkan kembali,” kata Direktur Program dan SDM Lokatmala Foundation, Dika Dzikriawan, kepada wartawan malam itu.
Menurut Dika, perjuangan melawan penindasan yang melahirkan semangat nasionalisme kerakyatan pada jaman kelabu tanam paksa ternyata menampilkan sosok sunyi perempuan bernama Apun Gencay.
“Setidaknya itu yang mencoba diinterpretasikan oleh Wina dari tulisan Trilogi Condre Kutukan: Cinta, Kopi dan Kekuasaan, karya Saep Lukman,” kata Dika.
Pesan-pesan dramatik makin ketara, saat properti berupa kubus sebagai simbol bahwa perempuan selalu dibatasi geraknya dimainkan dalam dentuman musik yang mencolok. Kaki perempuan mungil nan rapuh hanya diburu untuk sebuah kepuasan rezim patriaki.
Kolonialisme makin memperburuk posisi perempuan saat itu, terkungkung rapuh dalam sumpeknya dominasi dan ketidakadilan.
Wina Rezky Agustina mengatakan, kepekaan dan naluri perempuan itu lebih kuat. Ia bisa melakukan hal yang tak terduga termasuk melakukan sebuah penolakan yang berujung tragedi. Diam saja perempuan itu berpikir. Seperti yang terjadi pada kisah Apun Gencay.
“Apun menurutku adalah sang pemberani yang berkisah dan menjadi saksi bahwa perempuan pun bisa melawan sekalipun dalam sunyi dan keterbatasan,” kata Wina.
Sejarah Apun Gencay
Sejarawan Cianjur, Hendi Jo, mengatakan, kisah Apun Gencay dalam sejarah Cianjur bukanlah bahasan baru. Namun penampakannya dalam sebuah tarian memang sangat baru kalau tidak disebut yang pertama kali.
Kisah Apun Gencay, kata Hendi Jo, bermula dari sosok perempuan cantik asal Cikembar, Sukabumi kini. Apun ditenggarai menjadi pemicu terbunuhnya Bupati atau Dalem Cianjur Raden Aria Wiratanu Datar III.
Dalem Cianjur itu merupakan cucu Raden Aria Wiratanu Datar I yang diangkat menjadi Bupati Cianjur pada 1707 dan memerintah hingga 1726. Ketika itu wilayah Sukabumi masih menjadi bagian dari wilayah kekuasaan Kadipaten Cianjur.
Raden Aria Wiratanu Datar III termasuk bupati yang berprestasi dalam pandangan Vereenigde Oostindische Compagnie atau VOC. Sebab, ia selalu berhasil menyetor kopi yang terbesar ke VOC.
Sementara di Sukabumi, masa pemerintahan Wiratanu Datar III justru diwarnai banyak pemberontakan petani, terutama di wilayah Jampang, akibat penerapan tanam paksa kapas dan kopi yang sangat merugikan dan membuat petani tersiksa.
Setidaknya ada dua versi yang paling dikenal di balik kematian Raden Aria Wiratanu Datar III. Pertama ia meninggal pada 1726 karena ditusuk condre (senjata kuno khas Sunda semacam belati) oleh pemberontak yang merasa menderita karena sistem tanam paksa.
Salah satu pemicunya adalah kasus bayaran kopi pada VOC yang seharusnya 17,5 gulden, hanya dibayar 12,5 gulden. Sedangkan yang 5 gulden dipakai Raden Aria Wiratanu Datar III.
“Aria Wiratanu Datar III sejatinya bernama Raden Astramanggala. Dia merupakan putra sulung dari 14 anak Aria Wiratanu Datar II, Bupati Cianjur pertama,” kata Hendi Jo yang bernama asli Hendi Johari ini seperti sempat diungkapkan dalam Majalah Historia edisi 26 November 2019.
Disebutkan Hendi Jo yang juga salah satu anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Kabupaten Cianjur itu, dalam beberapa catatan sejarah, Aria Wiratanu Datar III tersohor sebagai mitra dagang VOC yang paling setia.
Adalah komoditas kopi yang menjadi andalannya untuk berbisnis dengan Maskapai Dagang Hindia Timur tersebut. Begitu puasnya VOC dengan pelayanan Aria Wiratanu Datar III hingga dua gubernur jenderal VOC yakni Christoffel van Swol (1713-1718) dan Hendrick Zwaardecroon (1718-1725) menghadiahinya wilayah-wilayah baru: Distrik Jampang dan Distrik Sagara Kidul.
“Dia pun mendapat gelar bekende grooten koffi leverancier (distributor besar kopi yang termasyhur), seperti ditulis Otto van Ress dalam Overzigt van de Geschhiedenis der-Pranger Regentschappen (Sejarah Para Bupati Priangan),” katanya.
Berbeda dengan pandangan para pejabat VOC, sebagian besar rakyat (terutama para petani kopi) justru menyimpan kebencian kepada Aria Wiratanu Datar III. Rupaya sikap keras Aria Wiratanu Datar III terhadap para petani kopi menjadi sebab kebencian itu muncul.
Mengutip Jan Breman dalam ‘Keuntungan Kolonial dalam Kerja Paksa: Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870’, Hendi menyebutkan, dalam prakteknya, VOC bekerjasama dengan bangsawan lokal untuk menekan massa di bawah.
Selain itu, dalam menjalankan bisnis kopinya, Aria Wiratanu III dinilai tidak jujur dengan mengambil laba yang terlalu banyak dari para petani.
Menurut sejarawan Gunawan Yusuf, harga kopi perpikul yang disepakati adalah 17.50 ringgit. Namun nyatanya, Aria Wiratanu Datar III hanya membayar 12.50 ringgit perpikul. Uang 5 ringgit yang seharusnya menjadi hak para petani kopi itu dimasukannya ke kantong pribadi.
“Karena soal itulah, rakyat lantas tidak puas, mengutip Gunawan Yusuf dalam ‘Sejarah Cianjur Bagian ke-7’,” kata Hendi.
Akhirnya disuatu senja ditahun 1726, entah itu seorang penyusup atau siapa berhasil memasuki pendopo Kedaleman Cianjur, dan condre menjadi saksi kemangkatan trasgis Sang Dalem.
Sosok Apun Gencay ada dalam kisah itu, tentu dengan segala versinya.
(RLS/ars)