
WARTAPARAHYANGAN.COM
PASIRJAMBU – Berada di wilayah yang jauh dari hiruk pikuk kota, tak menjadi penghambat untuk menghasilkan produk yang mampu diterima di pasar internasional. Seperti Warga Kampung Pangajaran dan Kampung Geber Desa Tenjolaya Kecamatan Pasirjambu, yang mampu mengembangkan produksi sapu ijuk dan menjalankan perkebunan organik, dimana hasil produksi kedua usaha itu, mampu dipasarkan hingga ke luar negeri.
Salah seorang pengrajin sapu ijuk, Ujang Suryana (42), tak menampik adanya Covid 19 memberika kendala terhadap lalu lintas pengiriman barang ke konsumen. Meskipun demikian, dampaknya tak terlalu banyak, karena pengrajin sapu injuk yang berada di Kampung Pangajaran, Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung masih bisa mengekspor bahan baku ijuk olahan hingga ke pasar internasional, seperti Jepang dan Korea Selatan. Sapu ijuk buatan warga di kampung tersebut, juga dipasarkan ke berbagai daerah. Tak hanya di Jawa Barat, namun sapu ijuk asal Pangajaran dijual sampai ke Surabaya.
“Produksi masih tetap berjalan. Karena permintaan konsumen memang tidak berkurang, hanya pengirimannya saja yang terhambat,” ujar Ujang saat wawancara di rumah kediamannya, Selasa (23/6).
Untuk setiap sapu yang dihasilkan, Ujang mendapat upah seribu rupiah. Setiap harinya, ia mampu menghasilkan paling sedikit 50 batang sapu. Tak hanya sapu, Ujang juga mengolah ijuk mentah menjadi bahan baku siap olah yang dikirim ke Jepang dan Korea Selatan.
“Terkadang bahan siap olah dikirim juga ke Kota Bandung dan Kabupaten Cianjur, karena di sana ada pabrik yang membuat sapu ekspor,” ucapnya.
Meskipun hanya sebatas bahan, kata Ujang, ia dan rekan-rekan perajin di Pangajaran, bisa mengirimkan sedikitnya 18 ton ijuk per bulan siap olah ke Jepang dan Korea Selatan. Untuk setiap kilogram, ijuk siap olah tersebut dihargai Rp 30.000, sehingga total omzet para perajin di Kampung tersebut bisa mencapai Rp 540 juta per bulan untuk ijuk siap olah saja.
“Upah untuk para perajin bahan ijuk siap olah mencapai Rp 4.000 per kilogram. Setiap pengrajin, bisa menghasilkan tiga kwintal ijuk siap olah per bulan. Artinya, dari bahan ijuk saja, setiap perajin per bulannya bisa mendapat penghasilan sampai Rp 1,2 juta, belum lagi dari ditambah upah dari produksi sapu ijuk yang sedikitnya bisa mencapai Rp 1,5 juta per bulan,’ papar Ujang.
Selain Ujang, ada juga Ipah (55), yang rumahnya dijadikan sebagai tempat produksi sapu ijuk di kampung tersebut. Kata Ipah, di sini sistemnya bagi hasil, namun untuk setiap produk yang dihasilkan semua mendapat jatah upah. Selain upah, setiap bulan juga akan ada sejumlah keuntungan yang dibagikan kepada para perajin. Oleh karena itu, ia tak menampik, jika profesi tersebut cukup mampu membuat warga kampung tersebut bertahan di tengah kondisi pandemi.
“Dirumah saya ini, saat ini ada sedikitnya tiga perajin yang bekerja termasuk dirinya. Dengan begitu setiap bulan, sedikitnya rumah produksi tersebut bisa menghasilkan 1.500 batang sapu ijuk, dan sembilan kwintal bahan ijuk siap olah untuk ekspor,” jelas Ipah.
Ditanya soal bahan ijuk yang digunakan, Ipah melansir bahwa ia dan rekan-rekannya langsung mengambil dari pohon Aren di hutan tak jauh dari kampung tersebut. Oleh karena itu selain mampu memberdayakan ekonomi warga, produksi sapu ijuk di Kampung Pangajaran juga membantu mengurangi sampah atau limbah di alam.
Perkebunan Organik
Selain sapu ijuk, juga terdapat perkebunan organik yang tak kalah mendunia. Manager Perkebunan Organik, Hengki Irawan mengatakan, menjalankan perkebunan organik memerlukan kesabaran yang ekstra. Ada banyak hal yang tidak mudah dilakukan pada saat berkebun tanaman organik, misalnya adanya proses penyuburan tanah, dimana tanah dan pupuk harus benar-benar tercampur dengan baik.

“Rata-rata petani konvesional ingin cepat, sementara menjalankan perkebunan organik tidak bisa diburu-buru. Sehingga, terkadang ada petani yang menyerah sebelum panen. Oleh karena itu, kami selalu memberikan pengarahan hingga perkebunan organik di Desa Tenjolaya ini terus berkembang,” ujar Hengki
Di Perkebunan organik Kampung Geber Desa Tenjolaya ini, terdapat 71 item reguler atau produk yang setiap hari diproduksi. Selain itu, juga terdapat 200 produk perkebunan organik yang sudah tersertifikasi organik dari Bio Seed, seperti buah dan kacang-kacangan.
“Kita tidak bergerak independen, jadi kita bekerja sama dan menjalin kemitraan dengan Pemerintah Desa Tenjolaya, serta juga dengan penduduk sekitar. Jadi, jika ada petani yang punya lahan dan ingin menjalankan perkebunan organik, maka akan kita siapkan bibit beserta dengan pupuk yang benar-benar kita olah sendiri,” papar Hengki.

Adapun produk dari perkebunan organik ini, lanjut Hengki, mayoritas bukan tanaman asli Indonesia, tetapi ada yang berasal dari Amerika dan Eropa. Seperti, tanaman Kale yang terdiri dari beberapa jenis misalnya Kale Curly, Kale Nero, Kale Red Russian, dan Kale Red Bon. Kemudian juga ada tanaman Kohlrabi yang berasal dari Eropa, dan ada juga juga tanaman lokal seperti bayam-bayaman.
“Karena tanaman organik ini adalah jenis tanaman high class atau eksklusif, jadi kebanyakan kita memasarkannya ke supermarket Ibu Kota. Perbulan kita bisa mengirimkan 14 ton produk organik yang berasal dari lahan seluas 4,5 hektar. Total kita punya delapan hektar. Sedangkan untuk harga, misalya bayam-bayaman, kita mematok harga Rp55 ribu per kilogram, harga itu sangat jauh dibandingkan harga bayam biasa, yang hanya dijual Rp5 ribu per kilogram,” jelas Hengki.
Lily Setiadarma