WartaParahyangan.com
BANDUNG – Ratusan warga Desa Cisondari, Kecamatan Pasirjambu, Kabupaten Bandung, menggelar Hajat Lemah Cai Cisondari atau biasa disebut Hajat Lembur di Kampung Cisondari, desa setempat, Jum’at (28/7/2023) siang.
Hajat Lembur yang diisi pementasan seni budaya dan berbagai kegiatan sosial itu digelar setiap tahun pada tanggal 1-10 Muharam. Prosesinya diawali dengan kirab budaya mengelilingi kampung yang ada di desa tersebut.
Warga yang sebagian besar mengenakan pakaian tradisional Sunda serba hitam itu, nampak antusias dan gembira mengikuti kegiatan budaya serta berbagai atraksi kesenian tradisional Sunda seperti Sisingaan yang ditunggangi oleh beberapa anak pengantin sunat, diiringi tetabuhan.
“Ini adalah bentuk syukur kami kepada Alloh SWT atas segala berkah dan rahmat-Nya untuk Desa Cisondari,” kata Kepala Desa Cisondari Dudi Wiwaha, di sela-sela kegiatan kirab budaya di Desa Cisondari.
Dudi menjelaskan, Hajat Lemah Cai atau Hajat Lembur yang rutin digelar setiap tahun mulai tanggal 1-10 Muharam itu, intinya bertujuan untuk mengingat jasa para leluhur pendiri Desa Cisondari.
Sedangkan kirab budaya yang menyertai Hajat Lembur, kata Dudi, merupakan salah satu upaya dalam pelestarian budaya Sunda. Terutama untuk mengenalkan dan mengakrabkan generasi muda dengan seni budaya warisan leluhur.
Dalam kegiatan tersebut, katanya lagi, berbagai kesenian tradisional Sunda ditampilkan, di antaranya Sisingaan, tari-tarian, tarawangsa dan kesenian lainnya.
“Alhamdulilah hingga saat ini adat istiadat tradisional Sunda masih berjalan dengan baik di Cisondari. Hal ini akan terus kami pelihara dan lestarikan, karena kami yakin dengan memelihara adat istiadat, desa dan masyarakat Cisondari bisa unggul dalam berbagai hal,” ujarnya.
Ketua DPRD Kabupaten Bandung, H. Sugianto, yang turut hadir dalam kirab budaya Hajat Lemah Cai Cisondari, sangat mengapresiasi kegiatan tersebut.
Menurut Kang Sugih, sapaan akrab Sugianto, Desa Cisondari memang memiliki perjalanan sejarah yang panjang. Bahkan di desa ini pernah berdiri sebuah kerajaan yang menjadi pusat kebudayaan, mulai dari seni hingga pusat penyebaran agama Islam.
Karena itu, kata Kang Sugih, tak heran jika hingga saat ini masyarakatnya masih menjunjung tinggi nilai dan adat istiadat warisan leluhur.
“Semuanya ada di Cisondari sebagai pusat pemerintahan, pusat seni budaya, penyebaran agama Islam dan lainnya. Kegiatan ini harus terus dilestarikan, dan jaga terus desa ini agar selalu diberkahi dan dirahmati oleh Alloh SWT,”‘ katanya.
Kang Sugih juga merasa bersyukur melihat antusiasme generasi muda di Desa Cisondari mengikuti berbagai kegiatan budaya ini. Ini juga tidak terlepas dari dukungan para sesepuh dan tokoh masyarakatnya.
“Dalam acara tersebut turut dihadirkan simbol-simbol kehidupan, seperti air, nasi kuning, buah-buahan, umbi-umbian, untaian padi dan lainnya, dan ini sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada Alloh SWT,” katanya.
Lily Setiadarma