Oleh : Saep Lukman
(Peminat sastra, sedang belajar di Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Suryakancana Cianjur)
Pendahuluan
Dalam dunia fiksi ilmiah yang diciptakan dalam cerpen Big Ekuinok yang pernah saya tulis dan dimuat secara online di iNews Bandung Raya (2/11/2024) lalu, tahun 2450 digambarkan sebagai era di mana bahasa dan komunikasi telah mencapai puncaknya.
Profesor Maryam Oei, ahli neuro-linguistik, memimpin eksperimen ambisius bernama “Big Ekuinok” untuk memahami esensi komunikasi manusia dengan memisahkan sepuluh bayi dari warisan linguistik berbeda. Cerpen ini bukan hanya sebuah kisah sains, tetapi refleksi filosofis tentang makna komunikasi, peran bahasa, dan evolusi kesadaran manusia.
Dalam studi linguistik, teori tabula rasa yang dikemukakan oleh John Locke berargumen bahwa manusia lahir tanpa pengetahuan bawaan, dan semua yang diketahui adalah hasil pengalaman.
Eksperimen dalam Big Ekuinok menegaskan pendekatan serupa tetapi dengan tambahan teknologi modern – bayi-bayi dipisahkan dari pengaruh bahasa apa pun dan dibiarkan mengembangkan sistem komunikasi baru.
Pada tingkat neurologis, penelitian oleh ahli saraf seperti Noam Chomsky menunjukkan adanya Language Acquisition Device (LAD), yang menggambarkan potensi biologis manusia untuk mengembangkan bahasa. Namun, cerpen ini membawa gagasan tersebut ke tingkat baru dengan memetakan bagaimana otak bisa menciptakan bentuk komunikasi non-verbal yang melibatkan gelombang elektromagnetik dan sinyal tubuh.
NeuroLyrika
Dalam cerpen ini, anak-anak mulai membangun bentuk komunikasi baru yang disebut NeuroLyrika. Konsep ini berakar pada ide bahwa bahasa dapat melampaui kata dan suara.
Menurut penelitian di bidang neuro-linguistik, bahasa non-verbal seperti gerak tubuh, kontak mata, dan perubahan nada suara memiliki dampak signifikan dalam menyampaikan emosi dan makna yang tidak dapat dijelaskan dengan kata-kata.
Penelitian oleh Dr. Albert Mehrabian menunjukkan bahwa komunikasi non-verbal menyumbang hingga 93% dari total makna yang dipahami dalam interaksi manusia, menguatkan gagasan bahwa makna sejati seringkali hadir dalam hal-hal yang tak terucapkan.
NeuroLyrika dalam cerpen ini memperluas konsep ini dengan menambahkan aspek neurologis, di mana sinyal elektromagnetik otak terintegrasi dalam proses komunikasi. Ini sejalan dengan penelitian kontemporer yang mengeksplorasi interaksi otak manusia melalui gelombang elektromagnetik yang bisa mempengaruhi cara berpikir dan merasakan seseorang.
Pada tahun ketiga dalam cerpen tersebut, Maryam menyadari paradoks eksistensial bahwa bahkan teknologi tercanggih – NeuroCorpus – tidak mampu memahami kompleksitas emosional NeuroLyrika sepenuhnya. Di sini, cerpen ini menggugah pertanyaan yang sama yang diajukan oleh ilmuwan dan filsuf seperti David Chalmers mengenai hard problem of consciousness. Bagaimana kesadaran, yang berisi emosi dan pengalaman subjektif, dapat dijelaskan secara objektif oleh ilmu pengetahuan?
NeuroLyrika, dengan dimensinya yang sulit dipahami, menunjukkan bahwa ada aspek-aspek dari kesadaran manusia yang melampaui logika dan perhitungan algoritmik.
Maryam, dalam cerpen ini, menyatakan bahwa “bahasa adalah cermin dari keberadaan, tetapi di sini, keberadaan menciptakan cermin baru.” Ini mencerminkan pemikiran Martin Heidegger yang mengatakan bahwa “bahasa adalah rumah keberadaan.” Dalam NeuroLyrika, rumah keberadaan itu bukan lagi kata-kata, melainkan getaran, gerak, dan resonansi yang menyatukan pikiran.
Konsep bahwa anak-anak dalam cerpen dapat mengembangkan komunikasi berbasis sinyal tubuh dan gelombang otak membawa implikasi besar bagi ilmu pengetahuan. Di dunia nyata, penelitian di bidang Brain-Computer Interface (BCI) telah menunjukkan potensi komunikasi langsung antara otak manusia dan mesin. Tetapi cerpen ini memperluas ide tersebut, mengusulkan bahwa bukan hanya otak-mesin, melainkan otak ke otak, bisa mengembangkan bahasa yang sepenuhnya baru.
Filosofisnya, ini menantang asumsi bahwa simbolis dan bahasa verbal adalah satu-satunya bentuk komunikasi tingkat tinggi. Teori komunikasi modern, seperti yang dikemukakan oleh Jurgen Habermas dalam Theory of Communicative Action, berpendapat bahwa komunikasi yang ideal harus bebas dari distorsi.
NeuroLyrika, sebagaimana digambarkan dalam cerpen ini, tampaknya mencapai bentuk komunikasi yang paling murni, di mana makna disampaikan tanpa perantara simbolis.
Realitas Eksistensial
Pada klimaks cerita, ketika Maryam memasuki Nukleus, ia merasakan getaran yang bukan hanya fisik tetapi emosional. NeuroLyrika menjadi cermin kesadaran yang terhubung, menunjukkan bahwa bahasa sejatinya adalah ekspresi jiwa yang tidak membutuhkan simbol atau kata.
Cerpen ini menyiratkan bahwa komunikasi ideal bukanlah tentang mentransmisikan informasi, tetapi tentang berbagi makna dan pengalaman hidup dalam bentuk paling murni.
Para ahli seperti Thomas Metzinger, yang membahas dalam bukunya “The Ego Tunnel” bahwa kesadaran adalah konstruksi internal yang dapat dipahami hanya oleh individu itu sendiri, akan berpendapat bahwa NeuroLyrika membuka kemungkinan baru dalam memahami ‘kesadaran kolektif’. Ini membawa implikasi bahwa masa depan komunikasi manusia mungkin melibatkan pendekatan yang jauh lebih dalam dan intuitif, di mana emosi dan pikiran mengalir bebas tanpa batasan bahasa konvensional.
Kesimpulan
Cerpen Big Ekuinok diharapkan tidak hanya menantang batas-batas fiksi ilmiah, tetapi juga dapat mendorong pembaca untuk mempertanyakan esensi komunikasi manusia dengan kemanusiaannya.
Apakah teknologi, dengan segala kecanggihannya, mampu menggantikan atau memahami kedalaman kesadaran manusia? Jawabannya, sebagaimana yang diungkapkan oleh Profesor Maryam Oei dalam cerpen itu, bahwa pada akhirnya, komunikasi sejati bukan hanya tentang kata atau simbol, tetapi tentang resonansi jiwa yang saling terhubung.
Di dunia modern yang semakin bergantung pada teknologi, cerpen ini mengingatkan bahwa keajaiban manusia bukanlah sekedar soal perhitungan digital, tetapi lebih penting dari itu, yakni tentang realitas yang tetap hidup dan penuh makna. (*)