Pak Harto Masih yang Terbaik, Kata Survei

Soeharto
Soeharto

Partai Golkar baru-baru ini mencetuskan hasratnya supaya Presiden RI ke-2, Soeharto, dianugerahi gelar Pahlawan Nasional. Seperti sebelumnya, keinginan itu kembali menuai pro-kontra. Lalu, apa kata rakyat ?

JUDUL di atas diambil dari ungkapan rakyat sekaitan dengan 18 tahun usia reformasi di Indonesia. Meski demikian sebagian besar elit politik kita sampai saat ini terkesan masih belum mau mengakui peran besar Pak Harto dalam membangun kejayaan bangsa ini. Padahal rakyat yang diminta pendapatnya melalui survey Indo Barometer, misalnya, menyebut Pak Harto adalah pemimpin terbaik yang pernah dimiliki oleh Indonesia.

Survei opini publik yang terselenggara atas kerjasama Indo Barometer dan TV ONE ini dilakukan dengan menggunakan metode systematic random sampling (penarikan data secara acak) dengan tingkat margin of error± 5% pada tingkat kepercayaan 95%.

Responden tersebar di 5 kota besar yaitu Provinsi DKI Jakarta, Kota Bandung, Kota Surabaya, Kota Medan, dan Kota Makasar dengan jumlah responden yang diwawancarai via telepon (telephone survey) sebanyak 400 orang dan berusia 17 tahun ke atas atau yang sudah menikah.

TENTU, tulisan ini tiada maksud menyebut pemerintahan pasca Soeharto tidak baik. Namun secara umum, stabilitas kehidupan masyarakat Indonesia, baik dibidang politik, ekonomi, sosial budaya maupun keamanan di era pemerintahan orde baru, oleh rakyat dirasakan memang lebih baik dibanding sekarang.  Tak perlu heran, ketika Indobarometer melempar survey tentang siapa pemimpin Indonesia yang baik menurut rakyat, pilihan pun jatuh kepada Pak Harto, sang smailing General.

Pilihan tersebut, agaknya tidak berlebihan jika kita melihat dan merasakan, situasi era reformasi yang dimulai sejak 21 Mei 1998 ternyata belum juga mampu mengatasi carut-marutnya kehidupan berbangsa dan bernergara di negeri ini. Elit politik, lebih banyak sibuk berceloteh, seakan tindak-tanduknya pro-rakyat. Sementara rakyat sendiri sebenarnya, tidak merasakan apapun hasil kinerja mereka.

Memang patut menjadi keprihatinan, rakyat akhir-akhir ini sepertinya lebih banyak menjadi penonton atas pola pikir dan perilaku elit yang berbicara tentang uang miliar bahkan triliunan disaat sebagian besar penduduk negerinya tersengal-sengal akibat himpitan kemiskinan. Lebih menyedihkan lagi, uang miliar dan triliunan yang dibicarakan elit itu adalah fakta temuan, yaitu terdiri uang negara yang dikorup oleh komunitas elit itu sendiri.

Demokrasi yang semakin terbuka di Indonesia saat ini, baru bisa dinikmati oleh sebagian besar rakyat, sejatinya baru sebatas bisa bebas berbicara. Rakyat tidak lagi merasa cemas akan ditangkap aparat kodim atau koramil saat mereka mengritisi kebijakan penguasa. Sebuah fakta yang sangat senjang jika kritik pedas bahkan kecaman itu dilakukan saat orba masih berkuasa. Keniscayaannya adalah, tentu, mereka akan berhadapan dengan penindasan rezim orba dengan tudingan antek-antek PKI.

Benar, dari aspek pelanggaran HAM, rezim orba dikenal reprhesif, tidak membuka ruang sedikit pun bagi tumbuhnya pendapat apalagi tindakan yang bersipat menyerang pemerintah. Akan tetapi dari aspek lainnya, terutama yang berkaitan dengan hajat hidup rakyat secara keseluruhan, pemerintahan orba sangat konsisten. Pembangunan seluruh sektor yang menunjang kegiatan keseharian rakyat, misalnya, terus dilaksanakan berkesinambungan dengan kualitas terus membaik dari periode ke periode berikutnya.

Pak Harto, selaku pengendali tunggal dalam penyelenggaraan pemerintahan tidak memberikan kesempatan bagi berkembangnya wacana rakyat kekurangan pangan. Kuncinya, sektor pertanian diberdayakan secara optimal, sehingga Indonesia mampu menyumbangkan bahan pangan kepada masyarakat negara lain melalui FAO.

Begitu pun dalam soal optimalisasi pemberdayaan sumber daya alam. Timbul gairah yang sangat tinggi di kalangan rakyat ketika Pak Harto menyerukan untuk melakukan antisipasi atas terus menyusutnya sumber minyak bumi Indonesia dengan mengerahkan seluruh potensi masyarakat melalui pengelolaan sektor pariwisata yang profesional. Hasilnya (ketika itu), pariwisata Indonesia tumbuh pesat dan menjadi andalan devisa negara dari sektor non migas. Aliran kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia terus membanjir bukan hanya ke Bali yang disebut surga oleh para pelancong internasional, melainkan daerah seluruh provinsi bisa menikmati hasil signifikan atas optimalisasi sumber daya alam sebagai potensi lokal unggulan.

Meski demikian tentu, bukan hanya disebabkan faktor potensi alam semata yang menyebabkan Indonesia dikagumi oleh pelancong dunia. Di masa orba, bisa disebut tidak pernah ada negara di dunia yang memberlakukan travel warning ke Indonesia. Ini didasari oleh stabilitas keamanan Indonesia yang kondusif, sehingga promosi Indonesia yang dilakukan di semua negara menuai persepsi positif dan masyarakat internasional menyebut Indonesia (ketika itu) sebagai negara paling aman dan damai.

Soal kemampuan Indonesia dalam menjaga stabilitas kawasan (termasuk stabilitas ekonominya), serta-merta telah mendasari bagi terwujudnya kerjasama regional di kawasan ASEAN. Hampir semua pemimpin ASEAN yang baru terpilih, dipastikan akan datang dulu kepada Indonesia untuk berguru tentang banyak hal. Vietnam dan Kamboja, misalnya, banyak mengirim tenaga ahlinya ke Indonesia untuk belajar soal pertanian. Kemudian dibidang pendidikan, Malaysia (1982-1997) mengirim generasi mudanya untuk belajar di Indonesia.

Malaysia yang sempat dianggap musuh oleh Presiden Soekarno dengan semboyan ganyang Malaysia, oleh Pak Harto berhasil dipulihkan. Tak ada cerita di masa Soeharto berkuasa, Malaysia berani mengungkit masalah perbatasan apalagi mencaplok pulau seperti lepasnya Sipadan dan Ligitan.

Paparan penulis di atas, hanyalah sebagian kecil dari catatan sejarah yang dibuat oleh Pak Harto dalam membawa Indonesia sebagai bangsa yang berpengaruh di dunia internasional. Seorang Mahathir Mohamad, mantan Perdana Menteri Malaysia, secara terbuka mengakui bahwa Pak Harto pemimpin Indonesia yang berhasil membawa perdamaian dan kedamaian. Soal di atas dikemukakan Mahathir sesaat setelah mendengar kabar wafatnya Pak Harto, hari Minggu pukul 13.10 WIB pada 27 Januari 2008 silam.

Mahathir mengatakan, Malaysia tidak akan pernah melupakan jasa dan sumbangsih Pak Harto. Pak Harto berjasa mengakhiri konfrontasi RI-Malaysia dan seterusnya membawa perdamaian bagi kedua negara.

Saat ditanya sumbangsih Pak Harto dalam hubungan Malaysia-Indonesia, Mahathir mengatakan, “Yang utama bagi Malaysia adalah hubungan Malaysia dan Indonesia dipulihkan di zaman Soeharto.”

“Untuk itu, kami amat berterima kasih dan amat menghargainya,” kata Mahathir seperti dikutip kantor berita Malaysia Bernama, Minggu (27/1).

Mahathir menambahkan, kedua negara juga tidak harus lupa bahwa Pak Harto yang membawa perdamaian dan kedamaian.

“Beliau memudahkan hubungan Malaysia dan Indonesia, yang selepas itu semakin meningkat dan hubungan jadi begitu rapat sehingga kita boleh dianggap serumpun,” ujarnya.

Pernyataan senada tentang Pak Harto juga diungkapkan sejawatnya dari Singapura, mendiang Lee Kuan Yew, presiden Filipina Macapagal Arroyo, serta Sultan Brunei, Hassanah Bolkiah.

Pak Harto, harus diakui, sebagai pemimpin mempunyai kharisma alami. Wibawanya menyentuh hingga pada soal perdamaian di Bosnia. Sebagai Ketua Gerakan Non-Blok (GNB) ketika itu Pak Harto tidak bergeming melakukan tugas perdamaian meski helikopternya sempat diberondong oleh gerilyawan Bosnia. Itu semua ia lakukan tentu, demi kehormatan bangsa Indonesia di percaturan global.

Sejarah baik maupun buruk adalah tetap sejarah. Siapa pun tidak mungkin menghapusnya sekalipun didasari oleh kepentingan politik. Demikian pula sejarah tentang Soeharto. Sebagai Presiden RI kedua, ia telah banyak berbuat dan sebagian besar rakyat Indonesia mengakuinya.

Sisi kelam selama ia 32 tahun menjabat Presiden RI, memang ada. Namun sisi baiknya yang berhasil membawa Indonesia menjadi bangsa yang terpandang di forum internasional, sudah selayaknya diadopsi oleh para pemimpin Indonesia masa kini.

Ketidaknyamanan bidang keamanan di Indonesia dewasa ini, merupakan salah satu persoalan yang sangat mengganggu kehidupan masyarakat. Di dalam negeri, rakyat gelisah karena selalu was-was oleh ancaman kejahatan serius dengan keberanian para pelakonnya yang cenderung beringas dan tak punya nurani lagi. Di sisi lain, persoalan perbaikan kesejahteraan yang banyak dijanjikan oleh para elit, dirasakan oleh rakyat tak lebih sekedar retorika, atau hanya siasat demi tercapainya ambisi pribadi maupun kroninya.

Contoh soal ke arah itu demikian terbuka. Korupsi di masa orba, tercatat cukup banyak. Tetapi kepentingan rakyat, berupa terkendalinya harga kebutuhan pokok, pembangunan infrastruktur dan sarana pendidikan tetap berjalan sesuai program. Sebaliknya jika kita bicara soal korupsi di masa reformasi, kadarnya justru lebih menggila dan pemerintah kurang punya wibawa lagi dalam mengendalikan persoalan yang menyentuh langsung dengan keseharian rakyat.

Siapapun mustahil bisa menolak perubahan. Dan Indonesia kini, telah jauh berubah menjadi Negara paling demokrasi di dunia. Tentunya kita berharap, keterbukaan demokrasi ini jangan hanya sekedar membolehkan rakyat bicara sebebas yang ia suka, tanpa ditopang esejahteraannya.

Pertanyaannya sekarang, siapa orang paling bertanggungjawab atas reformasi yang belum mampu membawa perbaikan terhadap bangsa ini ?

Menurut hasil survey Indo Barometer, mayoritas responden (27.5%) menjawab Soeharto adalah presiden terbaik sampai saat ini, Soekarno (24.8%), Joko Widodo (23,8%), Susilo Bambang Yudhoyono (9.0%), BJ. Habibie (5.0%), Abdurrahman Wahid/Gusdur (2.3%), Megawati Soekarnoputri (0.5%), tidak ada (7.3%).

Alasan utama responden mengatakan Soeharto adalah presiden terbaik Indonesia (Base Line: 27.5%) karena pada masa kepemimpinannya harga sembako/BBM murah (38.2%), aman/tentram (25.5%), ekonomi lebih baik (13.6%), rakyat sejahtera (3.6%), pembangunan merata (3.6%), peduli rakyat kecil (2.7%), merakyat (2.7%), bapak pembangunan (1.8%), lainnya (8.2%).

Mayoritas responden (63.3%) mengatakan presiden yang berlatar belakang suku Jawa dinilai berhasil dalam memimpin negara Indonesia, sebesar 17.8 persen responden mengatakan tidak berhasil, dan 19.0 persen responden menjawab tidak tahu atau tidak jawab.

Indo Barometer melakukan survei opini publik tentang Jawa dan Kekuasaan pada Sabtu (23/4) hingga Selasa (26/4).

Sekedar untuk catatan semua pihak, hasil survey Indobarometer tentang Pak Harto sebagai pemimpin terbaik dari 6 presiden RI yang mampu membawa perdamaian dan kedamaian di kawasan ASEAN, tidak hanya dikutip oleh media cetak, media online dan televise di Indonesia. Hampir seluruh media di dunia, sebut saja The Age, kantor berita Malaysia Bernama, Asian News Network, Newsnow, Congo.com, Strait Times dan sejumlah media online seperti All Voice, CBN News dan The Daily Telegraph juga merilisnya. – Ombule Rahmanniawan/berbagai sumber