
WARTAPARAHYANGAN.COM
TASIKMALAYA – Pelaporan kepada polisi atas meninggalnya Hj. Ucu Rohani pada 14 April silam saat dalam perawatan Rumah Sakit Jasa Kartini (RSJK) Tasikmalaya saat ini masih terus bergulir. Dasar laporan itu sendiri, antara lain karena salah seorang anak almarhumah, Demi Hamzah Rahadian, menduga pihak RSJK telah melakukan pelanggaran, yaitu merekayasa hasil tes polymerase chain reaction (PCR).
Demi Hamzah Rahadian yang juga anggota DPRD Kabupaten Tasikmalaya (F-PDI Perjuangan) Rabu pagi (05/05/2021) mengatakan, manajemen RSJK diduga telah melanggar UU nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Maka atas dasar dugaan tersebut, kata Demi Hamzah, pihak keluarga melalui kuasa hukum kemudian membuat pelaporan ke Polresta Tasikmalaya pada 3 Mei 2021 lalu.
Beberapa media online telah mengangkat masalah ini. Dikutip dari laman jabar.poskota.co.id (edisi Selasa, 4 Mei 2021 13:44 WIB) Andi, SH — kuasa hukum keluarga almarhumah Hj. Ucu Rohani, menuturkan ihwal pelaporan tersebut.
Kronologisnya, kata Andi bermula dari sakit demam yang diderita oleh Hj. Ucu Rohani pada 6 April 2021 dan pihak keluarga kemudian menghubungi Satgas Penanganan Covid-19 Kabupaten Tasikmalaya.
Ketika itu, lanjut Andi, hasil tes PCR di Labkesda, negatif Covid. Namun setelah berobat ke Puskesmas Cibalong, disarankan berobat ke seorang dokter. Apa kata dokter tersebut? Kata Andi, almarhumah disarankan untuk dirujuk ke salah satu rumah sakit swasta. Namun, ketika datang ke rumah sakit, malah dimasukkan ke ruang isolasi Covid-19 tanpa ada penjelasan dari pihak rumah sakit mengenai diagnosa penyakitnya.
Setelah itu, menurut kuasa hukum pihak keluarga juga disarankan untuk membeli obat actemra yang harganya mencapai Rp 12 juta. Dalam hal ini, mengingat demi kesembuhan Hj. Ucu pihak keluarga akhirnya menyetujui pembelian obat tersebut. Namun, pada kenyataannya obat yang dimaksud tak jadi dibeli karena tidak tersedia. Belakangan diketahui, katanya obat tersebut merupakan jenis yang tidak direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan.
Tentang apakah almarhumah Hj. Ucu Covid-19 atau bukan, kata Andi, pihak RSJK justru tidak menjelaskan. Berdasarkan hal itu, tandas Andi, maka RSJK diduga telah melanggar pasal 62 Jo pasal 10 UU nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Soal mencuatnya dugaan pihak keluarga pasien bahwa ada rekayasa hasil tes PCR, Wakil Direktur Pelayanan Medik RSJK dr. Faid Husna membantahnya. Perbedaan hasil pemeriksaan PCR antara Labkesda dan Rumah Sakit Jasa Kartini (RSJK), kata dia dapat dibenarkan secara medis sesuai kepentingan dokter penanggung jawab (DPJP) untuk melakukan cek ulang.
Menurut Faid Husna, secara medis, memang dibenarkan untuk tes ulang jika tes pertama hasilnya negatif. Namun, lantaran pasien mengalami gejala klinis sehingga oleh dokter penanggung jawab dimasukkan ke ruang isolasi.
Di pihak lain, kata dia, alat PCR yang dimiliki oleh Pihak RSJK sudah memiliki izin dan terdaftar di kemenkes, labkesda, dan sudah terekomendasi untuk dapat digunakan sebagai pendukung diagnosa Covid-19.
Faid Husna juga menyebut dalam masalah ini tidak ada tagihan RSJK kepada keluarga pasien sebesar Rp12 juta untuk obat actemra.
Anak almarhumah, Demi Hamzah Rahadian menyebut penjelasan yang disampaikan oleh Faid Husna di atas merupakan haknya. Namun dari pihak keluarga pasien, kata dia tetap mempertanyakan, mengapa penjelasan bahwa almarhumah positif Covid-19 baru diberikan RSJK seminggu setelah Hj. Ucu meninggal.
Terkai sikap RSJK ini, kata Demi Hamzah, menimbulkan dugaan pihak keluarga RSJK telah melakukan pelanggaran UU Perlindungan Konsumen, sehingga pihak keluarga (melalui kuasa hukum) membuat pelaporan ke Polresta Tasikmalaya.
Dd/hda/bule