WartaParahyangan.com
BANDUNG – Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) Kabupaten Bandung kembali turun ke lapangan melalui program Rabu Meramu. Kali ini di Rabu Meramu dilaksanakan Desa Sukawening, Kecamatan Ciwidey, Rabu 19 November 2025.
Sejak pagi, rombongan yang berasal dari berbagai desa wisata, kampus, hingga komunitas media sudah memenuhi balai desa. Mereka datang bukan hanya untuk melihat, tetapi untuk menyelami cara Desa Sukawening menghidupkan potensi wisatanya.
Kepala Bidang Pariwisata Disparekraf, Muhammad Sofiyurahman, S.ST.Par., MM., yang membuka kegiatan itu mengajak mereka melihat desa wisata bukan sekadar objek, tetapi sebagai ruang belajar bersama.
“Setiap Rabu kami bergerak dari satu desa ke desa lain. Kami ingin teman-teman saling mengunjungi, saling menguatkan, dan saling meminjam inspirasi. Karena itu, program Rabu Meramu kami dorong sebagai ruang belajar yang nyata,” katanya.
Ia menjelaskan bahwa Rabu Meramu merupakan akronim dari “menjelajah ragam potensi desa wisata menuju unggul”. Konsep itu lahir dari kebutuhan desa wisata untuk bertukar cara kerja secara langsung, bukan hanya melalui seminar atau diskusi daring.
“Hari ini Desa Sukawening mengambil peran sebagai tuan rumah. Di sini kita melihat langsung, bukan hanya mendengar. Itu yang membuat proses ini lebih hidup,” ujar Sofiyurahman.
Para peserta kemudian bergerak mengikuti alur kegiatan yang dipandu perangkat desa. Pemerintah Desa Sukawening memilih menampilkan aktivitas yang mewakili kehidupan masyarakatnya.

Mereka memulai dari simulasi tanam padi, sebuah kegiatan yang jarang disentuh wisatawan perkotaan. Para petani sudah menunggu di petakan sawah, lengkap dengan bibit padi dan arahan teknis.
Sofiyurahman ikut turun ke lumpur bersama peserta lain. “Wisata itu bukan hanya foto. Wisata itu pengalaman, dan pengalaman seperti ini mengajarkan banyak hal tentang desa dan masyarakatnya,” kata Sofiyurahman.
Kepala Desa Sukawening, H. Hamdani Sukmana, memimpin rombongan menuju area kerajinan bambu setelah kegiatan persawahan. Ia berbicara dengan suara mantap ketika menunjukkan proses produksi anyaman bilik.
“Warga kami sudah turun-temurun membuat anyaman seperti ini. Kami ingin produk budaya seperti ini tetap hidup, bukan sekadar dipamerkan,” katanya.
Hamdani menegaskan bahwa desa tidak ingin membangun wisata yang jauh dari kehidupan warganya. “Kami tidak menutupi apa pun. Kami ingin para pelaku wisata melihat Sukawening apa adanya. Ada sawah, ada kebun, ada kerajinan, dan ada budaya. Itu semua menjadi jantung desa kami,” ucap Kades.
Setelah menyaksikan proses produksi anyaman bambu, rombongan bergerak menuju lokasi camping ground yang sedang desa kembangkan. Hamdani menunjukkan titik-titik yang dalam waktu dekat akan mereka tata ulang.
“Kami butuh masukan. Kami sedang merancang set plan jangka panjang. Karena itu, kami ingin teman-teman dari desa lain, akademisi, bahkan media ikut memberi pandangan. Kami tidak ingin berjalan sendiri,” katanya.

Perjalanan kemudian berlanjut menuju Puncak Kubang, lokasi dengan ketinggian sekitar 890 mdpl yang menjadi salah satu magnet wisata Sukawening. Sesampainya di puncak, angin dingin langsung menyapu rombongan.
Hamdani menunjuk ke hamparan bukit yang terbentang. “Inilah salah satu aset terbaik kami. Dari sini, wisatawan bisa melihat panorama yang benar-benar berbeda. Udara, cahaya, dan suasananya menyatu,” jelasnya.
Ia lalu menatap para peserta satu per satu. “Kami butuh strategi untuk menjadikan tempat ini lebih layak jual tanpa merusak keasliannya. Itu tantangan yang ingin kami jawab,” ujar Hamdani.
Kepala Desa Tenjolaya, Kecamatan Pasirjambu, Ismawanto Somantri, SH., yang hadir dalam rombongan, mengapresiasi konsep yang Sukawening jalankan. Ia mengaku sengaja datang untuk membandingkan konsep wisata antar desa.
“Saya ingin melihat langsung apa yang berbeda dari Sukawening. Setiap desa punya karakter. Tugas kita menemukan kekuatan masing-masing,” katanya.
Ia juga menyampaikan dukungannya terhadap desa Sukawening. “Kami sama-sama bergerak di akar rumput. Karena itu kegiatan seperti ini membuka ruang untuk saling menguatkan. Kalau satu desa maju, desa lain ikut terdorong,” tuturnya.
Ismawanto sempat membahas perkembangan desa wisata Tenjolaya yang telah mengembangkan icon Salanak Teno. Namun ia mengaku tertarik dengan potensi religi dan adat yang ditawarkan Sukawening. “Kekuatan itu tidak semua desa punya. Saya ingin menggarap potensi serupa di desa kami kalau memang cocok,” ujar Ismawanto.
Duta Wisata Desa Sukawening, Enok Sopiah, memegang peran penting sebagai pengarah rute. Ia memimpin rombongan melalui jalur Pasuga, Pakalan, Sukamenak, hingga Gampu.

Dengan suara penuh semangat, ia menjelaskan setiap titik yang rombongan kunjungi. “Hari ini kita membawa sekitar lima puluh peserta. Mereka berasal dari desa wisata se-Kabupaten Bandung. Kita ingin semua orang melihat potensi Sukawening secara utuh,” katanya.
Enok beberapa kali mengingatkan peserta mengenai karakter jalur yang mereka lalui. “Kita naik sedikit, jalannya agak licin, tapi pemandangannya bagus,” ujarnya sambil tersenyum. Ia memastikan keseluruhan perjalanan berlangsung aman dan nyaman.
Sepanjang kegiatan, peserta tampak aktif berdialog dengan warga. Mereka menanyakan teknik pertanian, manajemen kunjungan, sampai strategi penjualan produk lokal. Interaksi seperti ini membuat suasana semakin intens. Warga pun tampak menikmati pertanyaan yang datang dari berbagai latar belakang.
Program Rabu Meramu yang digagas Disparekraf tumbuh menjadi ruang kolaborasi yang semakin solid. Setiap desa yang dikunjungi membawa pulang ide baru. Sementara desa tuan rumah memperoleh masukan segar untuk pengembangan selanjutnya.
“Kita ingin semua desa saling menginspirasi. Tidak ada desa besar atau kecil. Semua punya peluang yang sama,” kata Sofiyurahman.
Kabupaten Bandung sendiri menargetkan pertumbuhan desa wisata yang merata di seluruh wilayah. Pemerintah daerah mendorong pengembangan berbasis masyarakat untuk menjaga keberlanjutan. Melalui kunjungan rutin seperti ini, desa-desa wisata mendapatkan cara pandang baru yang langsung bisa mereka terapkan.
Desa Sukawening memanfaatkan momentum ini untuk menegaskan identitasnya sebagai desa yang mengandalkan kearifan lokal. Warga setempat menginginkan wisata yang tidak kehilangan karakter, tidak kehilangan ruh, dan tidak kehilangan kedekatan dengan alam.
Lily Setiadarma











