Kak Mal Sang Pengkisah, Rintis Pontren Tanfidz Qur’an

Muhammad Abdul Latif yang akrab disapa Kak Mal bersama Si Ahmad, boneka yang selalu setia menemaninya saat mendongeng atau ceramah

WartaParahyangan.com

CIANJUR – Di mata Kak Mal, cerita fabel “Kancil dan Buaya” tak sekedar menyampaikan pesan kecerdikan Sang Kancil, namun juga menebarkan pesan kebaikan.

“Dalam cerita Kancil dan Buaya versi saya, tak ada tipu daya. Jalan cerita disampaikan secara kreatif yang menebarkan akhlak yang baik,” kata Kak Mal, sapaan akrab H. Muhammad Abdul Latif, S.EI, M.Pd, ketika ditemui WartaParahyangan.com di Pusat Bisnis Santri Daaru Zamzam, Kampung Rawagede, Desa Cimenteng, Kabupaten Cianjur, Minggu (27/10).

Dalam cerita aslinya, kata Kak Mal, Kancil yang tiba di tepi sungai karena dikejar Harimau, bisa menyebrangi sungai setelah memperdaya buaya-buaya agar bejejer, sehingga Kancil bisa loncat dari punggung buaya yang satu ke yang lainnya. Para buaya mau melakukan itu, karena Kancil berjanji akan memberi makanan.

“Tapi Kancil ingkar janji. Setelah berhasil nyebrang, dia lari begitu saja. Ini membuat semua buaya marah. Ulah Kancil seperti itu saya kira kurang mendidik. Karena itulah saya ganti dengan versi lain, tapi tanpa merubah alur ceritanya itu sendiri,” paparnya.

Di bagian cerita itu, Kak Mal merubahnya dengan upaya Kancil membersihkan punggung buaya yang berjejer secara bergantian. Tak heran bila buaya-buaya itu merasa senang dan mengucapkan terima kasih. Bahkan para buaya berjanji akan membantu Kancil kelak bila membutuhkannya.

Kak Mal menuturkan kisah fabel tersebut secara komunikatif, kreatif, bahkan atraktif. Ini selain karena kemampuan mendongengnya yang mumpuni, juga karena Sang Pengkisah ini memiliki sekitar 80 karakter suara, serta saat bercerita dia ditemani Si Ahmad, boneka yang “bisa bicara”. Ini pula salah satu ciri khasnya.

“Bagi saya, boneka Si Ahmad menjadi salah satu media agar cerita yang disampaikan menjadi lebih menarik. Dan boneka itu saya bawa tak hanya saat mendongeng, tapi juga saat ceramah agama, baik di hadapan anak-anak dan kaum remaja, maupun di hadapan para pemuda dan orang tua,” ungkap pria kelahiran Cianjur 42 tahun lalu itu.

Otodidak

Kak Mal mengakui, kemampuannya mendongeng di hadapan orang banyak, muncul begitu saja. Bahkan bila melihat latar belakang pendidikannya, dia tak pernah secara formal kuliah di jurusan sastra atau seni.

Masa kecil dan remajanya di habiskan di bangku madrasah. Juga S1-nya diperoleh di Sekolah Tinggi Ekonomi Islam (STEI) Tazkia, Bogor, jurusan pemasaran. Sementara S2-nya diperoleh di Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, program magister pendidikan.

“Memang pendidikan saya tak berkaitan dengan dunia dongeng. Tapi sejak kecil, saya suka cerita dongeng dan kisah para nabi,” katanya.

Waktu kuliah di STEI, mulailah kemampuannya mendongeng lebih kentara. Dia menjadi penyiar acara dongeng di sebuah stasiun radio. Juga saat mengembara di Sumatera, khususnya Riau, selepas kuliah di STEI, Kak Mal pernah nenjadi penyiar radio dan televisi lokal.

Dari situlah Kak Mal mulai sering tampil di depan khalayak untuk mendongeng, bahkan menjadi motivator dan penceramah agama. Tempatnya pun tak hanya di sekolah atau lapang terbuka, tapi juga bisa di rumah dalam acara ulang tahun anak atau hitanan.

“Kemana saya diundang untuk mendongeng, ceramah, atau menjadi motivator, di situ saya tampil,” katanya.

Kian hari, undangan untuk tampil juga semakin padat. “Dalam sebulan, kosongnya paling hanya tiga hari,” kata Kak Mal seraya menyebutkan sejumlah kota yang pernah disinggahinya, antara lain Jakarta, kota-kota di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Kalimantan.

Aktivitasnya tersebut bahkan sempat membawanya ke luar negeri, antara lain ke Arab Saudi, Turki, Yordania, Israel, Uni Emirat Arab, Palestina, Cina, Thailan, Malaysia dan Singapur.

Di sela-sela kesibukanya, Kak Mal juga sempat menulis dan meberbitkan buku perihal dongeng, yakni “The Power of Storytelling”, “The Miracle of Storytelling”, “Ayo Mendongeng”, “Membuat Dongeng itu Mudah”, dan “Membuat Dongeng Semudah Mengedipkan Mata”.

Rintis Pembangunan Pontren

Meski secara ekonomi kehidupannya telah cukup mapan melalui aktivitasnya sebagai pengkisah, penceramah dan motivator, namun rupanya masih ada cita-citanya yang belum terwujud, yakini menjadi kiai dan punya pondok pesantren (pontren).

Apalagi anak sulung dari 6 bersaudara yang semuanya laki-laki itu punya darah kiai, yakini KH. Junaedi, kakek buyutnya yang dulu pernah punya pontren besar di Desa Cimenteng, tempat kelahirannya.

Karena itu pula di sela-sela kesibukannya, suami dari Laila Fitriana, SE, asal Pematangsiantar, Medan, Sumatera Utara ini sering bertandang ke rumah sejumlah kiai. Salah seorang di antaranya KH. Abdullah Muchtar di Panyalu Salabintana, Sukabumi. Bahkan kiai ini mengatakan sesuatu yang dirasa janggal ketika Kak Mal mengungkapkan keinginannya menjadi kiai, padahal dirinya tak pernah secara formal menjadi santri pesantren.

Kiai itu mengatakan, suatu waktu Kak Mal akan memiliki pontren dan menjadi kiai. Ucapan tersebut mulai terwujud pada 2015.

“Keinginan saya mendirikan pontren di kampung kelahiran saya ini begitu kuat. Selain ingin meneruskan tradisi kakek buyut, juga ingin ikut membentengi akhlak generasi muda dari pengaruh kurang baik,” kata ayah dari dua anak balita yang sedang kucu-lucunya ini.

Dengan “lahaola” dan modal tanah seluas 1.800 m2 yang dimilikinya, Kak Mal bersama sejumlah sahabatnya lalu membuat Yayasan Daaru Zamzam sebagai legalitas lembaga pendidikan yang akan dibangunnya. Di yayasan ini Kak Mal duduk sebagai pembina, sedangkan ketuanya Saepudin.

Di atas tanah tersebut mulailah dibangun gedung Pusat Bisnis Santri. Dananya sebagian besar berasal dari infak orang-orang terpandang yang pernah mengundangnya ceramah atau mendongeng dalam acara hitanan atau ulang tahun anaknya.

“Saya bersyukur ternyata banyak orang yang memberikan sumbangan, infak dan wakaf tanah untuk pengembangan pontren ini. Salah satunya Pak Yusuf Kalla, yang waktu itu wakil presiden,” ungkap Kak Mal.

Dari semula yang hanya memiliki 1.800 m2, Daaru Zamzam yang berlokasi sekitar 20 km ke arah selatan dari kota Cianjur itu kini punya lahan 7,5 ha, semuanya merupakan infak dan wakaf dari para donatur.

Lahan yang sebagian besar berupa pasir itu kini ditanami berbagai jenis buah-buahan seperti mangga, jeruk, rambutan, durian, pete dan nanas, serta lahan budidaya ikan dan unggas seperti angsa dan ayam pelung. Semua tananan itu dari jenis unggul, sehingga diusianya yang baru dua atau tiga tahun saja, sudah mulai berbuah.

“Kebun buah-buahan, kolam ikan dan budidaya unggas itu nantinya akan menjadi salah satu tempat belajar para santri di bidang agrobisnis, serta menjadi area agrowisata bagi wisatawan. Apalagi lokasi ini berdekatan dengan Situs Megalitik Gunung Padang,” kata Kak Mal.

Sedangkan hasil panennya, katanya lagi, akan dimanfaatkan untuk mengelola pontren dan kegiatan keagaman, termasuk kebutuhan santri selama belajar di sini.

“Target saya, sebanyak 600 santri belajar di sini, yang 300 santri di antaranya dari kalangan anak yatim, dan mereka belajar di sini gratis,” ujar Kak Mal yang oleh Baznas Kabupaten Cianjur ditunjuk sebagai Duta Baznas untuk mengedukasi anak-anak dan masyarakat agar semakin sadar akan kewajibannya membayar zakat.

Dia juga menyebutkan, selain dua gedung yang kini telah dibangun, yakni Pusat Bisnis Santri dan kantor yayasan. di atas lahan seluas 7,5 ha itu nantinya akan dibangun masjid, Pondok Pesantren Tanfidz Qur’an tiga lantai, rumah anak yatim-dhuafa tiga lantai, sarana olahraga, area pelatihan manasik, serta area agrowisata dan agrobisnis santri.

Untuk masjid, pembangunan fondasinya telah selesai. Bila dilihat dari rancangannya, masjid ukuran 15×15 m itu akan tampak megah, dan kontras dengan lingkungan sekitarnya yang merupakan daerah pegunungan.

“Secara keseluruhan kita butuh dana sekitar Rp 20 miliar untuk menyelesaikan semua fasilitas di kompleks pontren ini,” kata Kak Mal yang juga ditunjuk sebagai Duta KPA oleh Komisi Penanggulangan Aids Kota Bogor.

Dana sebesar itu dihapkan akan terkumpul dari para donatur atau siapa saja yang memiliki kepedulian terhadap anak yatim-dhuafa dan pendidikan.

“Saya optimistis, semua gedung dan fasilitas yang kita rencanakan, akan terwujud di akhir tahun 2020,” kata Kak Mal seraya menyebutkan, sejak 4 tahun lalu Yayasan Daaru Zamzam telah membina 150 anak yatim-dhuafa.

(Asep R. Rasyid)